Dari Hati Seorang Peserta Aksi Demo
Sangat disayangkan. Aksi yang dilakukan kemarin seharusnya berjalan dengan damai. Tetapi untung tak dapat diraih, keadaan malah menjadi ricuh. Kami berharap semoga insiden seperti ini tidak terulang Kembali, namun sebagai mahasiswa kami tetap akan menjadi penyambung lidah masyarakat untuk menyampaikan aspirasi mereka
Oleh: Syahrul Azmi
Pada awal September 2022 lalu, seluruh rakyat di Indonesia dibuat shock dengan kebijakan pemerintah yang menaikkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) bersubsidi. Pastinya, kebijakan seperti ini menuai reaksi negatif dari berbagai kalangan, terutama masyarakat yang berasal dari kalangan menengah ke bawah.
Reaksi ini ditentang, karena sebagian besar aktivitas masyarakat bergantung dari BBM. Kenaikan harga BBM tentunya akan mempengaruhi pengeluaran masyarakat secara signifikan, tidak hanya pengeluaran untuk BBM itu sendiri, tetapi juga komoditi lain yang harganya ikut terdongkrak naik.
Mungkin suara ini tak terdengar sampai ke Jakarta, tetapi banyak orang yang memekik dan menjerit. Mereka meminta agar pemerintah lebih hati-hati dalam memutuskan sesuatu, terutama yang berkaitan dengan hajat hidup orang banyak.
Mungkin mereka yang di sana lupa, bahwa sebagian besar rakyat Indonesia masih hidup di bawah garis kemiskinan. Sehingga perlu untuk mempertimbangkan keadaan masyarakat sebelum mengambil kebijakan.
Di Aceh sendiri, banyak pihak yang semakin terjepit karena kebijakan ini. Namun mereka sebagian besar dari mereka tersandra oleh keadaan, sehingga derita itu tak sanggup mereka sampaikan.
Sebagai agen perubahan, para pelajar dan mahasiswa dari beberapa Universitas di Aceh tergerak untuk mengadakan aksi guna menggugat kebijakan tersebut.
Karena kami melihat bahwa ada yang salah dengan semua ini, dan harus ada tindakan nyata agar suara ini bisa didengarkan oleh banyak orang.
Baca juga: Demo Rusuh, Mahasiswa Kehilangan Momentum
Singkat kata, aksi dilaksanakan pada Rabu 7 September 2022 di Gedung DPRA. Dalam aksi tersebut, kami menyampaikan penolakan terhadap kebijakan pemerintah dalam kenaikan BBM yang tidak populis secara damai.
Selain itu, kami mahasiswa juga menuntut agar Anggota DPRA mampu menjadi jembatan bagi masyarakat dan pemerintah. Jangan hanya sekedar mendengarkan keluhan semata, tetapi harus ada aksi nyata agar kebijakan kenaikan BBM segera dicabut.
Mahasiswa yang terlibat aksi pada 7 September lalu berasal dari kampus biru jantong hate rakyat Aceh, yakni Universitas Islam Negeri (UIN) Ar-raniry Banda Aceh. Aksi ini bukan kali pertama, namun beberapa hari sebelumnya sudah ada aksi yang sama.
Foto: Dokumen Pribadi
Bedanya, pada aksi kali ini kami tidak disambut baik di Gedung Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) oleh aparat Kepolisian. Mahasiswa yang berunjuk rasa tidak dibolehkan masuk kedalam area Gedung DPRA, dengan dalih karena mahasiswa dianggap anarkis.
Padahal dua hari sebelumnya aksi Yang pertama kali mereka lakukan berjalan damai karena sambutan di Gedung DPRA juga baik.
Para mahasiswa sempat berdialog dengan aparat kepolisian, dengan maksud untuk menyampaikan aspirasi mereka. Namun permintaan itu tidak digubris hingga membuat mahasiswa yang terlibat aksi merasa tidak terima dan mencoba menerobos pagar betis.
Pada akhirnya situasi berkembang menjadi tidak terkendali, sehingga terjadilah hal-hal yang kemudian disesalkan oleh banyak pihak.
Situasi pada saat itu, mahasiswa mencoba untuk masuk ke Gedung DPRA dengan upaya merobohkan pagar Gedung DPRA. Oleh pihak kepolisian, kericuhan tersebut disambut dengan tembakan air dari mobil water canon dan gas air mata ke arah Mahasiswa.
Saya dan beberapa teman sempat mencicipi rasanya gas air mata, hingga kami pun menangis karena menahan rasa perih. Karena tak mampu membalas, beberapa orang mahasiswa yang kesal kemudian membakar papan bunga sebagai ekspresi kekecewaan mereka.
Polisi mencoba mengamankan para mahasiswa yang berbuat kericuhan, dan tindakan represif tersebut menciderai beberapa orang teman kami.
Buntut dari aksi tersebut adalah kerugian di kedua belah pihak, baik materil maupun non materil. Bukan hanya fisik yang cidera, tetapi perasaan pun ikut terluka. 7 orang rekan kami ditangkap, dan satu orang luka-luka hingga harus dilarikan ke Puskesmas. Beberapa orang polisi juga mengalami cidera, dan salah satunya terluka di bagian wajah.
Sangat disayangkan. Aksi yang dilakukan kemarin seharusnya berjalan dengan damai. Tetapi untung tak dapat diraih, keadaan malah menjadi ricuh. Kami berharap semoga insiden seperti ini tidak terulang kembali, namun sebagai mahasiswa kami tetap akan menjadi penyambung lidah masyarakat untuk menyampaikan aspirasi mereka.
Jika nanti kami akan melakukan aksi-aksi lain, kami akan berupaya untuk melakukannya dengan cara yang damai dan mencerminkan sikap akademisi yang baik.
Oleh karenanya, kami meminta kepada pemerintah dan pihak kepolisian untuk tetap melaksanakan tugasnya mengayomi dan mengawal aksi-aksi lain di kemudian hari, sehingga aspirasi dapat disampaikan dalam suasana yang tertib kondusif. [Dharma Putra Kelana/NAB]
Banda Aceh, 22 September 2022
Penulis adalah Mahasiswa Jurusan Adab dan Humaniora, Fakultas Sejarah Kebudayaan Islam, Jurusan Adab dan Humaniora - Universitas Islam Negeri (UIN) Ar-Raniry dan sedang Magang di Balai Pelestarian Nilai Budaya (BPNB) Aceh
Email: syahrulazmi443@gmail.com