Makar Bukan Kritik, Kritik Bukan Makar

Makar Bukan Kritik, Kritik Bukan Makar
Dok. Pribadi Yusrizal Hasbi

Membicarakan makar di Indonesia bukan sekadar membicarakan pasal dalam hukum pidana. Ini adalah soal bagaimana negara memandang rakyatnya, bagaimana demokrasi dijalankan, sekaligus bagaimana warisan kolonial masih menjerat praktik hukum hingga hari ini.

Sejak awal, pasal makar memang tidak lahir dari kebutuhan rakyat Indonesia, melainkan dari kepentingan kolonial. Pemerintah Belanda dahulu menggunakannya sebagai senjata untuk membungkam tokoh pergerakan, menekan suara perlawanan, dan mempertahankan status quo kekuasaan. Ironisnya, setelah Indonesia merdeka, pasal itu bukannya ditinggalkan, melainkan justru diwarisi dan dipertahankan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

Bahkan, dalam KUHP baru yang disahkan pada 2023 dan akan berlaku pada 2026, ketentuan tentang makar tetap bertahan. Istilahnya memang berganti dari “makar” menjadi “serangan”, namun substansinya tidak berubah. Pergantian istilah ini hanya bersifat kosmetik, tidak menyentuh akar persoalan. Publik pun wajar merasa skeptis: apakah reformasi hukum pidana sungguh berpihak pada rakyat, atau sekadar memperhalus bahasa untuk melestarikan alat represi?

Tafsir yang Kabur, Ruang Demokrasi yang Sempit

Masalah terbesar dari pasal makar adalah tafsirnya yang kabur. KUHP tidak memberikan definisi operasional yang jelas. Kata “makar” sendiri diadopsi begitu saja dari istilah Belanda aanslag, yang maknanya berlapis. Dalam praktik, aparat penegak hukum kerap menafsirkan makar terlalu luas. Menyuarakan aspirasi politik, mengibarkan bendera, atau sekadar melontarkan kritik bisa dianggap makar.

Kondisi ini membuat hukum yang seharusnya menjadi pelindung rakyat justru berubah menjadi alat represi. Padahal, dalam negara demokrasi, kritik terhadap pemerintah bukan hanya wajar, melainkan vital. Demokrasi tidak mungkin bertumbuh tanpa kebebasan berpendapat dan berekspresi.

Indonesia memang telah meratifikasi Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik ( International Covenant on Civil and Political Rights) yang menjamin hak kebebasan tersebut. Namun, pembatasan atas kebebasan berpendapat hanya bisa dilakukan dengan syarat yang ketat: jelas, proporsional, dan semata-mata untuk melindungi keamanan nasional. Dalam praktiknya, standar itu sering diabaikan.

Politisasi Pasal Makar

Sejarah menunjukkan, pasal makar kerap muncul dalam momen politik. Setelah pemilu, ketika sebagian masyarakat menolak hasil atau mengkritik pemerintah, tuduhan makar tiba-tiba ramai. Di era digital, tafsir makar bahkan merambah dunia maya melalui UU ITE. Kritik di media sosial bisa ditarik menjadi kasus makar atau ujaran kebencian.

Akibatnya, rakyat hidup dalam ketakutan. Mereka ragu untuk bersuara, khawatir kritik akan berbalik menjadi jerat hukum. Demokrasi pun kehilangan ruang untuk bernafas. Kenyataan ini menunjukkan bahwa pasal makar lebih sering digunakan sebagai instrumen politik ketimbang instrumen hukum. Alih-alih melindungi negara dari ancaman serius, pasal makar justru kerap dipakai untuk melindungi penguasa dari kritik.

Banyak negara demokratis memberikan definisi makar secara ketat. Makar hanya bisa dikenakan jika ada upaya nyata menggulingkan pemerintah dengan kekerasan. Sejatinya, di negara-negara mengusung demokrasi, mengibarkan bendera, menyampaikan aspirasi, atau berdemonstrasi tidak pernah dianggap makar.

Dengan definisi yang jelas dan terbatas, hukum tidak bisa dijadikan senjata politik. Ia berfungsi sebagaimana mestinya, melindungi negara dari ancaman serius, bukan membungkam warganya sendiri. Indonesia seharusnya bisa belajar dari praktik ini. Jika kita sungguh ingin memperkuat demokrasi, pasal makar harus dipersempit ruang lingkupnya. Tanpa itu, hukum pidana akan terus dipakai sebagai alat kekuasaan.

Ancaman bagi Demokrasi

Bahaya terbesar dari membiarkan pasal makar dalam bentuk sekarang adalah hilangnya kepercayaan rakyat pada negara. Rakyat yang merasa dibungkam tidak akan diam. Mereka akan mencari cara lain untuk bersuara, bahkan melalui jalur yang lebih ekstrem. Pada titik itulah justru stabilitas negara benar-benar terancam.

Dengan kata lain, penyalahgunaan pasal makar bisa melahirkan makar yang sesungguhnya. Negara yang memilih jalan represi sedang menggali lubang bagi dirinya sendiri.

Sebaliknya, jika negara berani merevisi pasal makar dengan definisi yang jelas, sempit, dan proporsional, Indonesia bisa melangkah menuju demokrasi yang matang. Demokrasi yang sehat bukanlah demokrasi tanpa kritik, melainkan demokrasi yang memberi ruang luas bagi perbedaan pendapat.

Jika ditelusuri lebih jauh, konsep makar memang berakar pada sejarah panjang kolonialisme. Ia lahir dari produk hukum Belanda yang menyesuaikan kondisi politik Eropa kala itu, khususnya pasca-Perang Dunia dan dinamika pemberontakan di berbagai negara.

Ketika KUHP 1946 disusun, konsep makar diadopsi begitu saja tanpa pembaruan substansial. Satu-satunya perubahan hanya mengganti istilah “Raja-Ratu” menjadi “Presiden-Wakil Presiden”. Hal ini menunjukkan persoalan utama: pasal makar tidak pernah sungguh-sungguh dipikirkan ulang dalam kerangka negara merdeka yang menjunjung demokrasi dan hak asasi manusia.

Dalam negara demokrasi, makar sejati tentu harus ditindak tegas. Tidak ada kompromi bagi upaya nyata menggulingkan pemerintahan dengan kekerasan. Namun, ekspresi politik, demonstrasi, dan simbol-simbol perlawanan tidak boleh serta-merta ditarik ke dalam kategori makar.

Jika itu terjadi, hukum berubah menjadi alat kekuasaan yang justru merusak sendi negara hukum itu sendiri. Pada akhirnya, makar terbesar bukanlah pengibaran bendera atau teriakan di jalanan. Makar terbesar justru terjadi ketika negara mengkhianati janji demokrasi yang telah diucapkan sejak 1945.

Reformasi hukum pidana seharusnya menjadi momentum dekolonisasi, membebaskan bangsa dari warisan hukum kolonial yang represif. Namun jika pasal makar tetap dibiarkan dalam tafsir kabur, demokrasi Indonesia hanya akan berjalan di tempat, terjebak dalam bayang-bayang masa lalu.

Negara memiliki pilihan: terus memakai hukum sebagai alat represi, atau berani menempuh jalan reformasi sejati demi demokrasi yang sehat. Jalan yang dipilih akan menentukan, apakah Indonesia akan menjadi bangsa yang benar-benar merdeka, atau terus hidup dalam bayang-bayang kolonial yang tak kunjung usai.