Muzakir Manaf dan Jalan Panjang Legalitas Tambang Rakyat di Aceh

Muzakir Manaf dan Jalan Panjang Legalitas Tambang Rakyat di Aceh
Gubernur Aceh, Muzakir Manaf - Foto: dok. Humas Prov. Aceh

BANDA ACEH – Panitia khusus (Pansus) mineral, batubara serta minyak dan gas Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) mengungkap, setidaknya ada 450 titik tambang emas illegal yang tersebar di Pidie, Aceh Jaya, Aceh Barat, Nagan Raya, Aceh Barat Daya, Aceh Selatan dan Gayo Lues. Diperkirakan sekitar 1.000 eskavator aktif beroperasi aktif di kawasan tersebut dengan daya rusak yang amat dahsyat terhadap alam dan lingkungan.

Operasi ini sudah berlangsung lama dan berjalan langgeng, karena menurut temuan pansus ada kerjasama antara pemodal, penambang dan oknum aparat penegak hukum. 

Disebutkan satu eskavator membayar 30 juta perbulan atau sekitar 360 milyar pertahun untuk biaya keamanan karena itu Pansus minta gubernur menutup seluruh kegiatan tambang ilegal.

“Dua minggu dari sekarang, semua eskavator atau Beko saya minta keluar dari hutan Aceh” ultimatun itu disampaikan Gubenur Aceh Muzakir Manaf (Mualem) pada rapat paripurna bersama DPRA di Gedung Parlemen, Kamis (25/9/25).

Ultimatum mantan panglima GAM itu langsung mendapat respon dari penambang emas yang ditandai dengan keluarnya puluhan Eskavator secara berbondong-bondong dari dalam hutan yang ramai di media sosial.

Terhentinya penambangan ini tentu berdampak langsung kepada ribuan masyarakat Aceh yang menggantung hidup dari tambang, bahkan dibeberapa tempat seperti Aceh Selatan, Nagan Raya dan Pidie menambang sudah menjadi tradisi turun-temurun dan menjadi tumpuan utama keluarga.

Bagi mereka Legalitas tidak penting, yang penting dapur tetap mengepul, apalagi setelah lahirnya Undang-Undang Minerba, ruang bagi tambang rakyat semakin menyempit. Skema Izin Pertambangan Rakyat (IPR) yang semestinya hadir sebagai solusi, justru sulit diwujudkan. 

Akibatnya, banyak penambang beroperasi tanpa kepastian hukum, menanggung risiko penertiban, konflik lahan, hingga tudingan perusakan lingkungan sehingga seringkali mereka harus berhadapan dengan aparat penegak hukum, disinilah kesempatan oknum bermain memanfaatkan situasi.

"Insya Allah, demi rakyat kita akan terus berbenah. Semua ini untuk kepentingan Aceh, untuk kepentingan masyarakat Aceh," kata Muallem.

Muallem minta semua tambang illegal dihentikan, selain merusak alam juga merugikan Aceh dan masyarakat karena itu Gubernur akan mengeluarkan intruksi untuk penataan dan penertiban.

“Yang tidak legal nanti kita legalkan, agar masyarkat bisa bekerja dengan tenang, kita bentuk tim terdiri dari TNI/Polri dan juga ahli pertambangan untuk menata ini, kita arahkan untuk dikelola masyarakat dalam bentuk koperasi, UMKM atau skema lainnya,”ungkap Muallem.

Langkah Mualem ini jelas berisiko, terutama aturan ketat minerba dari pemerintah pusat namun Muallem melihat Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA) yang diatur secara khusus membuka peluang pengaturan berbeda atas sumber daya alam.

“Keberanian Gubernur Muzakir bukan sekadar melawan arus regulasi, tapi menunjukkan bahwa pemerintah harus berpihak pada rakyat kecil” ujar Dr. Nurdin, akademisi Universitas Syiah Kuala yang mengkaji tata kelola minerba.

Legalisasi tambang rakyat adalah bentuk nyata keberpihakan, ia mendorong agar mekanisme perizinan dibuat lebih sederhana, transparan, dan mudah diakses. Bahkan, Aceh dinyatakannya siap mengelola skema ini sendiri, dengan syarat ada payung hukum yang jelas.

Payung hukum itu sedang dirancang oleh Pemerintah Aceh dan beberapa kabupaten pun mulai menyiapkan peta wilayah khusus tambang rakyat.

Jika ini terjadi dampaknya bukan hanya memberi kepastian bagi penambang, tetapi juga membuka peluang tata kelola lingkungan yang lebih terukur.

“Kalau dilegalkan, kami tak perlu lagi lari dari aparat, kami bisa menambang dengan tenang, membayar retribusi resmi, dan menjaga lingkungan,” ungkap Dedi, penambang tradisional di Aceh Selatan.

Harapan baru mulai tumbuh, meski jalan panjang masih menanti. Sinkronisasi dengan pusat, regulasi yang konsisten, hingga pengawasan yang ketat agar legalitas tambang rakyat tidak dikuasai pemodal besar.

“Bagi kami, Muzakir Manaf itu suara rakyat kalau tambang rakyat bisa legal, kami tidak hanya selamat dari jeratan hukum, tapi juga bisa hidup lebih layak,” ujar seorang penambang dari Nagan Raya.

Sebagian orang mungkin akan memandang negatif terhadap sikap Muallem yang dinilai menghancurkan ekonomi masyarakat namun disi lain ada juga yang menganggap apa yang dilakukan Muallem sebagai sikap politik berani yang berpihak pada rakyat kecil.

Sebuah ikhtiar panjang yang tak hanya soal emas di perut bumi Aceh, tetapi juga tentang harga diri, keberlanjutan, dan masa depan masyarakat tambang rakyat. []