Aceh Utara Janda Tua yang tak Menarik Lagi ; Klaim Sepihak dan Asal Bunyi

Manatap Kota Pasai, kota tua nan bersejarah haruslah adil dan bijak,
Ayo semua ikut membantu dengan cara ikut menyumbang pikiran bukan malah menghina apalagi membuat umpama seakan akan Aceh Utara bagai janda tua yang tidak menarik lagi….
tapi buktinya ...
semua mata di Kementrian dalam Negeri memandang terpesona
Para sahabat pemerhati Aceh Utara,
Ayolah, arif dan bijaksana dalam memberikan komentar atau penilaian,
jangan asal bunyi alias “Asbun”
Aceh Utara harus bangga telah melahirkan dan menikahkan dua anaknya yakni Kabupaten Bireun dan Kota Lhokseumawe (bukan ditinggal pergi oleh isteri, ini salah besar penilaian Aceh Utara janda) Bahkan Aceh Utara telah mencetak kader kader ASN (SDM) yang handal dan mampu berkiprah ditingkat provinsi bahkan tingkat Pusat.
Tercatat Tarmizi A. Karim Pernah PJ Gub Kaltim, Kalimantas selatan, PJ Gub Aceh, Muhammad Nasrullah pernah asisten Provinsi dan sekda Bireun, M. Jafar,M.H., juga asisten provinsi putra Matang Kuli, Iskandar mantan kasubbag umum kini Asisten pemerintah Aceh, Arifin Urami pernah Sekda kota, dan Mawardi Mantan Kadis PU kini masih sebagai Staf Ahli pemerintah Aceh.
Ini menandakan bahwa Aceh Utara selain sukses membangun infrastruktur masa konflik dan dimasa damai juga mampu menyetor putra putra terbaiknya ke tingkat Provinsi maupun Nasional.
Kalau mau menulis tentang Aceh Utara, maka kita mesti buka lembaran satu satu apa yang telah dicapai dan yg sedang diperjuangkan, kemajuan atas perjuangan orang terdahulu patut kita hargai dan berterimakasih.
Pembangunan Aceh Utara jangan dinilai satu sudut pandang, namun harus dinilai berbagai sisi baik itu secara fisik maupun non fisik, nonfisik tidak bisa diraba dan dilihat seperti penempatan anggaran untuk pembangunan manusia bidang pendidikan umum dan agama. Kedua pendidikan ini sama pentingnya dalam melahirkan generasi pembangunan dan generasi Qurani.
Masyarakat Aceh Utara jelas tidak setuju jika di klaim pembangunan jalan ditempat dan bagai janda yang terlunta lunta, ini klaim sepihak.
Saat ini Aceh Utara terus berbenah mengupayakan pemindahan pusat administrasi ke Kota Lhoksukon pasca melepaskan Kotif Lhokseumawe manjadi Kota, dan Bireun Menjadi Kabupaten Bireun, ini bukan pekerjaan yang mudah yang bisa dicapai dalam kurun waktu singkat.
Persoalan Aset Aceh Utara masih berada di Lhokseumawe ini juga sedang diselesaikan, terlihat dari progresnya mulai ada kemajuan dimana uang ganti rugi oleh Pemerintah Aceh Dan Pemerintah Kota Lhokseumawe pada tahun 2022 telah Sukses membangun gedung kantor Bappeda, Kantor Inspektorat dan Kantor BPKAD di Landeng Lhoksukon, bahkan dalam dua bulan ini sudah bisa difungsikan.
Membangun Aceh Utara yang begitu luas memang butuh energi dan satu kata atau “Sapue Pakat” dengan seluruh elemen masyarakat tak kecuali media dan butuh butuh anggaran yang besar, belum kondisi geografisnya yang berada didataran rendah sehingga sering diterjang bencana.
Dalam tiga dekade Aceh Utara tercatat daerah yang punya potensi kemajuan tidak di depan dan tidak pula tinggal di belakang.
Penduduk Aceh Utara mencapai setengah juta lebih, lahan pertanian yang merupakan andalan masyarakat justru sering terendam Banjir, lahan kebun yang subur tidak bisa di olah akibat didera konflik dan sengketa lahan denga berbagai perusahaan pemegang HGU, Ini menjadi ironi dan dilema bagi 600.000 ribu jiwa di tanah Pasai.
Provinsi sudah melakukan pemetaan namun hingga kini, belum ditemukan format yang jitu untuk mengatasi bencana alam di Aceh Utara. Pemerintah terus berupaya melakukan berbagai survey dan rekayasa penanganan banjir atau mitigasi bencana hasilnya tetap saja belum ada kemajuan yang signifikan dalam mereduksi terjangan banjir.
Harapan baru bagi masyarakat Aceh Utara jika bendungan krueng Keuretoe dapat diresmikan pada 2023. Iini akan membuktikan bahwa kerja kerja para pemikir atau para pejabat sejak 2010 sampai 2023 buah hasil dari handalnya SDM yang dimiliki para senior dan para pakar penanganan banjir kala itu.
Tidak serta merta kita harus menghujat, dimana mereka telah mencurahkan pikiran sampai harus menghadapi berbagai resiko kerja namun harus kita hargai sebuah temuan tim ASN Aceh Utara 12 tahun yang lalu dan menjadi sebuah kebahagiaan bagi penerima manfaat yakni warga Lhoksukon, Matang Kuli, Pirak Timu, Tanah Luas dan Lapang dimana mereka akan hidup tanpa banjir, akan hidup tanpa kerugian harta benda setiap 31 Desember (Desember kelabu).
Manatap Kota Pasai, kota tua nan bersejarah haruslah adil dan bijak, dimana kita semua terpanggil untuk membantu dengan cara ikut menyumbang pikiran bukan malah menghina mengumpamakan seakan akan Aceh Utara bagai janda tua yang tidak tertarik lagi tapi buktinya ... semua mata memandang dan terpesona dikementrian dalam Negeri. Ini membuktikan bahwa Aceh Utara masih ada yang menyapa melambaikan tangan sembari menaruh perhatian suatu saat bisa ke Bumi Malikussaleh.
Pertanyaan kenapa Aceh Utara sulit memajukan sektor ekonomi, sebenarnya pertanyaan itu sangat gampang dijawab, perputaran ekonomi bukan hanya di kota namun di hulu atau di gampong juga harus digenjot, caranya berikan hak seluas luasnya bagi petani mengelola lahan HGU, agar masyarakat tidak menggarap Kawasan hutan lindung, jika pun harus menggarap hutan lindung maka pemerintah provinsi yang berwenang harus memberi solusi bagi para petani artinya masyarakat harus diberikan pendampingan dalam pengelolaan garapan sehingga mereka mampu menurunkan produk hasil alam ke hilir atau ke kota, nah ini yang menjadi dilema.
Ketika masyarakat dituntut harus berkebun namun terjebak dalam hutan lindung, konsekwensinya dataran rendah harus rela menerima air yang begitu dahsyat menerjang lahan pertanian.
Persoalan garapan masyarakat kita sangat setuju namun disini juga kerap terjadi penyelewangan bahkan dalam pembukaan lahan baru, mulai SKT yang tidak ditertibkan sampai status tanah setelah bertahun tahun digarap juga tidak kunjung selesai.
Sementara banjir bandang terus terjadi hampir setiap tahun, ini menjadi persoalan Aceh Utara, kita mengajak para pemikir akademisi agar menemukan format pengelolaan hutan yang ramah lingkungan dan berdayaguna serta menjamin peningkatan ekonomi para petani kebun.
Sudah cukup lelah para petani Aceh Utara dalam upaya Produksi gabah diberbagai musim selalu saja mendapat kendala baik itu kelangkaan pupuk, lahan dihempas banjir dan hama pun ikut membantai tanaman padi, disisi lain masyarakat harus menanam palawija ini juga terkendala denga n luapan air sungai yang tidak menentu, walhasil masyarakat selalu dalam dilema antara maju atau mundur, untung atau rugi.
Penulis juga mengajak para sahabat pemerhati Aceh Utara agar arif dan bijaksana dalam memberikan komentar atau penilaian, jangan asal bunyi atau Asbun.
Semua kita menginginkan Aceh Utara jaya dan kembali seperti masa petro dolar dulu, dimana diistilahkan dalam tulisan yang dimuat dikomporatif bahwa Aceh Utara mbong, penulis menilai itu terlalu berlebihan atau hanya mereka reka.
Masyarakat Aceh Utara tidak mbong atau angkuh buktinya siapapun yang menanam investasi baik digunung atau dikota semua diterima dengan baik, siapapun jadi pejabat walaupun bukan asli Aceh Utara tetap dianggap sebagai saudaranya, tapi jangan coba coba menghina dan merendahkan mereka.
Persepsi mbong ini hanya penilaian sepihak bukan atas dasar realitas dilapangan. Penulis juga mengajak semua kita dari barbagai elemen mari membangun Aceh Utara kota Pasai lebih maju dan berwibawa.
*Penulis adalah Kepala Bagian (Kabag) pada Dinas Kominfo Aceh Utara, mantan Kabag Humas Aceh Utara