Mereduksi Pelecehan Seksual Terhadap Perempuan dari Desa

"Sudah saatnya pemerintah mengoptimalisasikan undang-undang dan lembaga agar angka kekerasan seksual tidak semakin meningkat. Untuk mewujudukan lembaga, bisa dibentuk mulai tingkat desa sebagai upaya preventif kekerasan seksual"
Bagaikan hujan, headline sosial media terus menerus dihujami berita-berita panas yang seakan tidak ada habisnya untuk menjadi tema utama buah bibir masyarakat ditengah pandemi Covid 19. Terlebih, dikala ini pengguna sosial media yang terus menerus meningkat akibat peraturan baru yang mengharuskan masyarakat segala usia untuk melakukan kegiatan secara daring (dalam jaringan), mulai dari belajar, bekerja bahkan sampai event pun diadakan secara virtual.
Akibat peningkatan ini, para millennial bisa dengan cepat menyambut secara antusias isu-isu yang sedang beredar, membuat informasi dapat menyebar bahkan dalam seperkian detik.
Dalam kepopulerannya, isu terpanas yang menjadi perbincangan hangat baru-baru ini adalah tentang pelecehan seksual. Bak fenomena gunung es, kasus-kasus kekerasan maupun pelecehan seksual terus muncul, mulai dari korban yang masih balita sampai sudah menginjak lanjut usia. Rentetan pertanyaan diajukan, apa, bagaimana, dan kenapa pelecehan seksual terus terjadi, bagaimana bisa seorang ayah mencabuli anak kandungnya? dan mengapa pelecehan seksual bisa terjadi di lingkungan akademisi yang notebene nya menjadi guru dasar pendidikan moral, dan adab?
Jika digali lebih dalam, kita mungkin akan menemukan kompleksitas yang tidak bisa ditemukan akarnya. Budaya patriarki yang sudah ditanamkan sejak kecil bagai payung yang melindungi para pelaku bejat pelecehan seksual maupun predator kelamin. Bahkan Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 Tentang HAM, Undang-Undang Nomor 23 tahun 2004 Tentang penghapusan KDRT dan lainnya, ternyata tidak mampu mengurangi lonjakan angka kekerasan dan pelecehan di Indonesia dan hukum yang diterapkan masih sangat membentur tembok.
RUU TPKS (Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual) yang baru saja disahkan, tidak bisa dijalankan secara optimal jika penangganan kasus pelecehan tidak mendapat perhatian yang layak. Para pelaku masih berkeliaran di luar sana sementara korban masih dibayang-bayangi rasa takut dan depresi akibat kejadian traumatis yang mereka alami.
Jika mengikuti isu, salah satu berita yang paling menggegerkan adalah kasus guru pesantren yang mencabuli 12 santriwati, terjadi di Tasikmalaya. Dikutip dari kompas.com, di kala suasana sepi, S didatangi guru pesantrennya, MST (50). Pria tersebut lantas melakukan perbuatan tak senonoh kepada S. Seusai memperkosa korban, MST meninggalkan asrama. Peristiwa memilukan itu akhirnya terungkap seusai S melahirkan di dalam kamar mandi asrama pesantren pada 21 Desember tahun 2021.
Menilik dari kasus yang dialami para santriwati, bahkan tempat yang dipercayakan kebanyakan orang sebagai tempat aman yang mengajarkan kaidah-kaidah keagamaan pun tidak bisa melindungi anak mereka dari tekanan libido pria penjahat kelamin. Masyarakat menjadikan agama sebagai benteng moral mereka, dimana agama merupakan tempat lahirnya nilai-nilai kemanusiaan maupun pedoman hidup. Kepercayaan dan ketaatan kepada Tuhan, seakan membuka pintu bagi predator seksual berkedok pemuka agama semakin marak terjadi.
Sangat disayangkan, mengingat bahwa penduduk Indonesia bermayoritas pemeluk agama Islam, apalagi kota yang dijuluki sebagai serambi mekah, Aceh. Perlu kesadaran dan kejelian para masyarakat untuk memilah dan memilih serta bagaimana menutup celah-celah para pelaku untuk melancarkan aksinya.
Aceh sebagai provinsi yang mempunyai peraturan daerah istimewa dan mayoritas penduduk Islam, kehadiran qanun (Peraturan Daerah_red) seharusnya mampu menjadi sumber alternatif yang bisa membuat pelaku jera, alih-alih melindungi, dinamika problematika terjadi saat aturan yang dimuat seakan tidak berpihak kepada korban, dimana para korban diharuskan menghadirkan alat bukti dengan saksi, dan pria bisa dibebaskan jika hanya mengaku bahwa ia tidak melakukan zina.
Karena itu, dilansir dari web Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Provinsi Aceh, merincikan kekerasan psikis sebanyak 125 kasus, penelantaran 106 kasus, kekerasan fisik 78 kasus, pemerkosaan 18, seksual 13 kasus, trafficking satu kasus dan lain-lain 40 kasus. Ini menurut data yang terlapor, realitanya masih banyak yang enggan melapor dikarenakan stigma masyarakat dan lingkungan sekitarnya.
PEGIAT PEREMPUAN DESA
Perlu kesadaran yang penuh dan sinergi dari segala kalangan, melindungi para korban dan memberi perilaku jera dan hukuman yang seadil-adilnya untuk pelaku. Sudah saatnya pemerintah mengoptimalisasikan undang-undang dan lembaga agar angka kekerasan seksual tidak semakin meningkat dan tidak terjadi penomalisasian terhadap aksi pelaku.
Untuk mewujudukan lembaga, bisa dibentuk mulai tingkat desa sebagai upaya preventif kekerasan seksual. Dengan pembentukan Pegiat Perempuan Desa, lembaga ini bisa menjadi layanan pengaduan, sosialisasi pendidikan seks sejak dini, dan penanggulangan pencegahan kekerasan dan pelecehan seksual terhadap perempuan dan anak.
Layanan ini juga dibentuk dengan lembaga desa lainnya, yang terdiri dari unsur-unsur seperti tuha peut (Badan Permusyawaratan Desa_red), karang taruna, dan ibu-ibu Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga (PKK). Agar tujuan-tujuan Pegiat Perempuan Desa bisa tercapai dengan baik, salah satu cara yang dilakukan bisa dengan menghadirkan Pegiat Perempuan Desa pada acara keagamaan seperti sosialisasi pada saat pengajian.
Upaya kerjasama semacam ini, selain bisa membantu menangani kasus, juga bisa menjadi kesempatan dalam menanamkan kepedulian terhadap persoalan yang dihadapi perempuan dan anak dikalangan anak muda, di wilayah Aceh Pegiat Perempuan Desa bisa melalui pendekatan Islamiah.
Disamping itu, Pegiat Perempuan Desa mempunyai fokus utama terhadap mereka yang menjadi korban kekerasan seksual, yakni penanganan psikis dan mental pasca trauma pemberian pelatihan pencegahan seks usia dini, hingga mengedukasi masyarakat agar korban bisa diterima kehadirannya tanpa adanya cibiran. Korban kekerasan seksual bisa mengalami tekanan yang bisa membuat mereka mengalami trauma jangka panjang. Maka diperlukan penanganan dari psikolog profesional selama pemulihan berlangsung.
Pada umumnya, layanan di tingkat desa jauh lebih terbuka karena merasa adanya ikatan sosial antara mereka, dengan diciptakannya layanan ini, diharapkan mampu menjadi langkah preventif untuk menanggulangi permasalahan kekerasan seksual dan pelecehan dari tingkat terkecil. Melalui strategi ini, pemerintah bisa dengan tanggap menangani permasalahan dengan cepat dan terstruktur. Melalui program ini, pemerintah bisa mewujudkan pemberdayaan bagi korban dengan responsible, karena setidaknya korban mendapatkan dukungan secara psikologis dan psikososial.
Bagi penulis, keterlibatan perempuan dalam pembentukan program ini sangat krusial agar bisa diterima oleh masyarakat. Seminar dan sosialisasi perlu dilakukan di balai-balai guna membentuk kesadaran terkait modus pelecehan dan kekerasan seksual, sehingga meningkatkan kewaspadaan perempuan dari bahaya yang mengintai. Kasus pelecehan dengan berkedok pemuka agama, sangat mungkin dicegah seandainya bentuk-bentuk edukasi pernah diterima.
Pada akhirnya, apapun program yang ingin dibuat, tetap memerlukan dukungan dan peran serta seluruh elemen masyarakat. Semoga melalui program-program pemberdayaan perempuan dan perkembangan anak, bisa menjadikan desa bebas kekerasan seksual demi mewujudkan masyarakat yang bermartabat, maju, dan bahagia.
Oleh : Alicya Putri Gunawan, Mahasiswi Prodi Psikologi Universitas Syiah Kuala.
Email : alicyaputcya@gmail.com