"Taktik Hijau" Tipu-tipu Ala Perusahaan

Khayranil Ula, Mahasiswi KPI IAIN Lhokseumawe

Banyak perusahaan menggunakan taktik "hijau" untuk menenangkan para konsumen. Terlepas dari kenyataan bahwa mereka terus mendapat untung dari polusi dan produksi sampah mereka dan tidak terlalu peduli dengan kerusakan lingkungan yang mereka timbulkan.

Aktivis lingkungan telah menyuarakan keprihatinan dan protes terhadap perusahaan yang tidak memiliki inisiatif berkelanjutan tentang produk ramah lingkungan.

Protes ini berkaitan dengan kemajuan teknologi dan kesadaran konsumen terhadap lingkungan.

Sebagai tanggapan atas protes tersebut, banyak perusahaan menggunakan taktik "hijau" untuk menenangkan para konsumen.

Terlepas dari kenyataan bahwa mereka terus mendapat untung dari polusi dan produksi sampah mereka dan tidak terlalu peduli dengan kerusakan lingkungan yang mereka timbulkan.

Teknik hijau yang sering digunakan oleh banyak organisasi besar di seluruh dunia, termasuk Indonesia, dikenal dengan istilah "greenwashing".

Greenwashing adalah taktik pemasaran dan komunikasi yang digunakan oleh pebisnis untuk menghadirkan produk yang aman dan ramah lingkungan tanpa sungguh-sungguh terlibat dalam praktik ramah lingkungan (Gracianty, 2023).

Taktik ini bisa berupa pemasaran atau kegiatan yang berkedok “perlindungan lingkungan”. Tujuan utama dari strategi ini adalah untuk meningkatkan citra baik perusahaan yang akan meningkatkan daya tarik produk, pada saat yang sama menyebabkan lebih banyak kerusakan lingkungan akibat banyaknya permintaan terhadap produk tersebut.

Pendekatan bisnis ini sebenarnya bisa menyebabkan publik meragukan integritas perusahaan, dan menuntut perusahaan melakukan greenwash di setiap kesempatan. Konsumen tidak akan lagi menghargai keramahan lingkungan suatu produk jika istilah "hijau" digunakan secara tidak tepat atau terlalu sering secara tidak bertanggung jawab (Suryanadi, 2019).

Saat ini, sudah bukan hal yang tabu, melihat sungai dan gunungan sampah plastik. Logo dan merek perusahaan besar yang bertumpuk di pembuangan sampah plastik merepresentasikan sejauh mana kontribusi perusahaan tersebut dalam menimbulkan kerusakan lingkungan seperti degradasi tanah, air, serta polusi udara akibat emisi karbon. Kemasan sekali pakai sering dikombinasikan dengan kedok agar lebih hemat biaya saat membujuk pelanggan untuk mengkonsumsi suatu produk tanpa mempertimbangkan resiko terhadap ekosistem yang merupakan efek samping dari kemasan produk mereka.T

Terdapat sepuluh perusahaan multinasional penghasil sampah plastik terbanyak secara global, menurut laporan dari organisasi Break Free From Plastic yang diterbitkan pada 25 Oktober 2021. Dalam laporan terakhir Unilever tercatat sebagai perusahaan yang menghasilkan sampah plastik terbesar ketiga dunia.

Duta BFFP Indonesia, Sofi Azilan Aini, juga mengungkapkan banyaknya sampah yang dihasilkan oleh perusahaan Unilever ini. "Kami melakukan audit merek sebanyak empat kali di lokasi yang berbeda di Indonesia. Di Sungai Kabupaten Malang ditemukan banyak produk perawatan pribadi dari Unilever. Kami juga telah mengobservasi sebuah taman hutan bakau yang memiliki banyak sampah plastik sekali pakai.

Apa yang tak terlupakan dari kegiatan brand audit ini, kami menemukan banyak kemasan dari sekitar tahun 1990 hingga awal tahun 2000 yang masih utuh, hanya warna yang memudar. Ini memberikan kejelasan bukti kita benar-benar harus menghindari plastik sekali pakai."

Juga dilansir dari Break Free From Plastic, keterlibatan Unilever pada KTT COP26 di Glasgow, yang membahas penanganan perubahan iklim dari 31 Oktober hingga 13 November 2021, sebagai sponsor utama, adalah bukti nyata greenwashing yang dilakukan oleh perusahaan global ini. Padahal korporasi multinasional ini telah berjanji untuk mengurangi produksi plastik mereka.

Kemasan dari produk Unilever, Indofood, dan Mayora juga menjadi tiga besar penyumbang sampah plastik sekali pakai di Indonesia, menurut hasil operasi brand audit WALHI di 11 lokasi garis pantai di 10 provinsi Indonesia pada Juni 2022 (WALHI, 2022). Banyak dari sampah tersebut merupakan produk perawatan diri seperti sampo, sabun, makanan instan, dan barang-barang lainnya, mengingat banyak dari produk Unilever dan dua perusahaan lainnya telah menjadi bagian dari keperluan pokok masyarakat Indonesia.

Menjadikan sampah plastik dari merk Unilever mendapat tempat paling banyak disungai-sungai dan tumpukan sampah di Indonesia.

Tidak mengherankan jika banyak dari perusahaan besar ini melakukan metode greenwashing mengingat tekanan yang mereka alami dari berbagai sumber, termasuk persaingan konsumen, aktivis lingkungan, pemerintah, dan kelompok aktivis lingkungan internasional. Tujuannya tidak lain untuk meningkatkan minat konsumen dengan modal yang sedikit, karena kemasan plastik membutuhkan investasi awal yang jauh lebih sedikit daripada jenis kemasan lainnya.

Janji mereka untuk mengurangi produksi plastik lagi-lagi hanya untuk menenangkan para aktivis lingkungan.

Dari dua data diatas, sudah bisa kita bayangkan betapa berbahayanya aktifitas greenwashing bagi lingkungan. Dengan meningkatkan kesadaran dan pengetahuan. konsumen dapat turut andil meminimalisasi praktek greenwashing. Terlebih, sampah rumah tangga menjadi sektor yang menyumbang sampah terbanyak. 

Ada beberapa langkah yang bisa dilakukan konsumen untuk mencegah atu mengurangi strategi greenwashing ini. Diantaranya, ketika memilih suatu produk yang mengklaim ramah lingkungan, hendaknya meneliti tentang kebenaran klaim produk tersebut terlebih dahulu. 

Yang kedua, meminimalisasi penggunaan produk dengan kemasan sekali pakai dan berganti ke produk yang benar-benar ramah lingkungan. Selektif terhadap produk menjadi kunci dalam mengurangi praktek greenwashing.

Yang ketiga, melakukan praktik 3R, yaitu reuse (menggunakan kembali sampah yang masih dapat digunakan dengan fungsi yang berbeda), reduce (mengurangi segala sesuatu yang menimbulkan sampah), dan recycle (mengolah kembali sampah) untuk melestarikan lingkungan dan membuat sendiri barang-barang. sehingga dapat menurunkan persentase ketergantungan konsumen terhadap perusahaan yang melakukan greenwashing.

Penulis : Khayranil Ula
Mahasiswi Komunikasi Penyiaran Islam (KPI) IAIN Lhokseumawe.