Catatan Sejarah Perjuangan Pembangunan Bendungan DI Krueng Pasè

Catatan Sejarah Perjuangan Pembangunan Bendungan  DI Krueng  Pasè

Bendungan Krueng Pasè yang berlokasi di Gampong Lubok Tuwe Kecamatan Meurah Mulia Aceh Utara merupakan salah satu proyek pendukung aktifitas keseharian para petani dalam 9 Kecamatan wilayah tengah Aceh Utara dan sebagian masuk dalam Wilayah Kota Lhokseumawe.

Bendungan yang dibangun oleh Pemerintah Belanda sebelum Indonesia merdeka itu mampu mengairi 8.922 hektar area sawah warga.

Dengan adanya bendungan ini, petani bisa turun ke sawah dua kali dalam setahun dengan hasil panen padi 4-5 ton per hektar. 

Bendungan ini memiliki dua sayap yaitu sayap kanan meliputi Kecamatan Nibong, Tanah Luas, sebagian Matang Kuli, Syamtalira Aron dan tanah Pasir, sedangkan sayap kiri meliputi Meurah Mulia, Syamtalira Bayu, Samudera dan Blang Mangat Kota Lhokseumawe.

Berdasarkan catatan sejarah, bendungan Krueng Pasè dibangun oleh Belanda jelang kemerdekaan Republik Indonesia saat pasukan Belanda berhasil menduduki Aceh Utara.

Warga dari berbagai kecamatan dipaksa oleh Belanda untuk bekerja (Rodi) melakukan pembangunan tanpa upah dan akhir bendungan tersebut rampung dibangun dengan darah dan air mata rakyat.

Tahun 2008 bendungan yang menjadi kebanggaan dan tumpuan harapan masyarakat Aceh Utara itu runtuh diihantam banjir dan mengalami kerusakan berat,  tidak bisa difungsikan lagi, dan tidak mampu lagi membendung debit air untuk dialiri ke hamparan sawah.

Kerusakan itu terjadi karena dimakan usia dan bisa jadi karena pengaruh hutan yang sudah gundul sehingga debit air di pedalaman Geureudong Pase yang tinggi menyebabkan arus deras bercampur potongan kayu yang saban hari sering menghantam bagian penting bendungan peninggalan Belanda itu, hingga roboh. 

Kala itu Bupati Aceh Utara dijabat oleh Ilyas A. Hamid yang populer di masyarakat dengan sapaan Tgk. Ilyas Pasè kader partai Aceh yang terpilih pada Pilkada (Pemilihan Kepala Daerah) pertama pasca konflik 2006.

Beberapa hari setelah bendungan rusak Tgk. Ilyas Pasè menggelar rapat dengan dinas terkait agar bendungan tersebut dapat di renovasi sehingga masyarakat tidak terkendala dalam bercocok tanam.

Melalui Dinas Sumber Daya Air, pemerintah Aceh Utara mengajukan permohonan rehab kepada kementerian terkait di Jakarta, setahun kemudian Tgk. Ilyas Pasè berhasil melakukan rehab ringan hingga bisa dimanfaatkan lagi sampai tahun 2020. 

Lalu, Tgk. Ilyas Pasè kembali mengajukan proposal ke Pemerintah Pusat agar dibangun bendungan baru yang mampu mengairi sawah dengan cakupan lebih luas dibanding bendungan sebelumnya. 

Proposal ini direspon positif oleh pemerintah pusat hingga kemudian dibangunlah Bendungan baru di Lhok Jok Meurah Mulia sekira 1 kilometer dari bendungan lama. 

Proses survei dan penyiapan DED (Detail Engeneering Design) atau rancang bangun rinci berjalan lancar sesuai scedul dan berlanjut dengan pembebasan lahan. 

Dua tahun kemudian pemerintah pusat memberikan lampu hijau dan memenuhi hasrat masyarakat Aceh Utara untuk memiliki bendungan baru dengan cakupan manfaat yang lebih luas. 

Seremonial peletakan batu pertama dilakukan jelang Pilkada 2012, saat itu Tgk. Ilyas Pasè sudah purna tugas. Sehingga dilakukan oleh Pj. Bupati Aceh Utara Alibasyah. 

Hadir juga para Kepala SKPK, pihak Balai, unsur Forkopimda, Camat, Ulama, Tokoh masyarakat termasuk Imam Mukim dan Penyuluh pertanian serta Insan Pers saat itu. 

Usai penyelesaian DED, langkah utama selanjutnya adalah pembebasan lahan baik untuk induk bendungan maupun kanal-kanal dan genangan air yang menghabiskan anggaran milyaran rupiah. Dalam perjalanan pembangunan bendungan itu terhenti karena kendala pembebasan lahan.

Sebagian pemilik lahan tidak bersedia tidak melepaskan lahannya walaupun dibeli oleh pemerintah sesuai harga yang berlaku di Kecamatan tersebut. Bahkan masyarakat yang menolak pembebasan lahan menempuh proses hukum sehingga uang ganti rugi pemilik lahan dititipkan pada Pengadilan negeri Lhoksukon, akibatnya bangunan baru tersebut terbengkalai tidak bisa dilanjutkan pembangunannya.

Saat banjir melanda Aceh Utara akhir tahun 2020 bangunan lama masih menjadi andalan petani kembali ambruk dihantam arus deras Krueng  Pasè hingga mengalami kerusakan parah dan tidak bisa direnovasi lagi. 

Akhir tahun 2020,  Bupati Aceh Utara yang baru Muhammad Thaib (Cék Mad) mengusulkan pembangunan kembali Bendungan bekas peninggalan belanda itu dilokasi lama. Ia bahkan berhasil mengajak Wakil Menteri Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) John Wempi Wetipo ke lokasi bendungan rusak.

Awal 2021 Kementrian PUPR mulai melakukan survei dan pelelangan yang dimenangkan PT. Rudi Jaya Jatim pada pertengahan 2021. Proyek ini mulai dikerjakan  Akhir Oktober 2021, sayangnya pada bulan Desember 2021 kembali dihadang banjir sehingga progress pembangunan kembali terhambat.

Hingga awal 2022 banjir masih terus melanda Aceh Utara dan menerjang bangunan proyek yang masih dalam proses pembangunan. Wakil Bupati Aceh Utara Fauzi Yusuf yang menjabat kala itu bahkan sempat turun ke lokasi memantau Progres pekerjaan.

Masa tugas Muhammad Thaib sebagai Bupati Aceh Utara berakhir pada 12 Juli 2022, sebagai gantinya  Menteri Dalam Negeri (Mendagri) melantik Azwardi Abdullah sebagai Penjabat (Pj) Bupati Aceh Utara untuk masa kerja satu tahun (2022-2023). 

Azwardi juga terus memantau perkembangan kemajuan pekerjaan proyek bendungan bahkan beberapa kali mengadakan rapat dengan Pihak Balai, para Camat, Mukim dan tokoh masyarakat terkait masalah ini.

PT. Rudi Jaya hanya mampu menyelesaikan pekerjaan kontruksi kurang dari 40 persen, dan akhirnya pihak Balai memutuskan kontrak kerja dengan perusahaan tersebut.

14 Juli 2022 masa jabatan Azwardi sebagai Pj. Bupati berakhir berakhir, selanjutnya di lantik sebagai Asisten I Setda provinsi Aceh, di Aceh Utara Mendagri menunjuk  Dr. Mahyuzar sebagai Pj. Bupati menggantikan Azwardi untuk masa tugas (2023-2024). 

Pj. Bupati Aceh Utara 2023-2024, Mahyuzar 

Sepuluh hari masa tugasnya sebagai Pj. Bupati Aceh Utara Mahyuzar langsung turun ke bendungan Krueng Pasè sebagai tindak lanjut rekomendasi fraksi-fraksi dalam sidang paripurna DPRK Aceh Utara yang merekomendasikan pembangunan dan penyelesaian bendungan Krung Pasè Mutlak dan wajib ditindak lanjuti untuk kepentingan masyarakat luas.

Di lokasi proyek bendungan, Mahyuzar berdialog dengan tokoh masyarakat dan mencari solusi serta  menampung saran masyarakat hingga pihak Balai wilayah sumatra 1 berjanji akan membuka Sungai pengalih sayap kanan dan sayap kiri, diprediksi musim tanam akhir tahun bisa difungsikan.

Kabar terbaru, usai dilakukan audit oleh BPK RI Perwakilan Aceh, Balai akan segera melakukan tender.

Kita do’akan bersama semoga bisa berjalan dengan lancar.

Sementara menunggu, agar petani bisa menjalankan aktivitasnya, Pj. Bupati Mahyuzar memberikan solusi dengan pengadaan Pompanisasi dan arus Listrik untuk energi mesin pompa. Mahyuzar juga mengutus para Camat untuk mengikuti rapat rapat penting dengan pihak Balai dan mengevaluasi hasil kerja selama ini. 

Dari kilas balik riwayat bendungan Krueng Pasè, sejak Bupati hingga Pj. Bupati mulai  2008 hingga 2023 sebenarnya telah berupaya menjalankan tugas fungsinya semaksimal mungkin untuk menyelesaikan persoalan masyarakat penerima manfaat bendungan tersebut, namun terkadang ulah segelintir Kontraktor yang kurang bertanggung jawab dan kondisi alam telah membuat masyarakat menderita, ini menjadi pengalaman pahit bagi kelangsungan pembangunan infrastruktur publik.

Dari pengalaman ini, pemangku kepentingan dipusat diharapkan benar-benar melakukan seleksi ketat terhadap rekanan pelaksana dan pengawasan yang profesional sehingga tidak menimbulkan kerugian Negara dan berdampak pada terpuruknya Ekonomi Masyarakat  9 Kecamatan di Aceh Utara.

Kepada para anggota DPR RI dan DPD RI juga harus berperan maksimal dan profesional dalam mengawal pembangunan Infrastruktur daerah.

Akhirnya masyarakat hanya bisa berdoa semoga pembangunan bendungan monumental tersebut cepat selesai dan bisa berfungsi pada tahun 2023/2024.