Matahari Sore Mop-Mop Aceh
Prototipe destinasi wisata desa budaya. Usaha ini merupakan road map dari usaha revitalisasi kesenian Aceh terutama yang mulai langka seperti mop-mop. Bentuk desa wisata dipilih karena dalam rangka revitalisasi kesenian maka yang harus dilakukan pertama-tama adalah menyelamatkan ekonomi masyarakat setempat terlebih dahulu, sehingga kemudian regenerasi seniman lebih mudah.
Oleh: Nanta Es
Salah satu yang magis di dunia ini ialah aroma bunga padi saat bercampur dengan gerimis sore. Ada yang ritmis di situ, seakan alunan yang mengingatkan masa kecil, capung-capung, suara kodok, kecipak di irigasi, dan jejak lumpur setelah bermain seharian.
Rasa itu saya temukan saat menempuh perjalanan ke Institut Meurak Jeumpa di Desa Paloh Raya, Aceh Utara. Di kiri-kanan terbentang sawah nan hijau. Gerimis baru selesai dan angin musim bertiup mengayunkan pucuk padi dan juga reranting pohon.
Kunjungan ke Institut Meurak Jeumpa adalah bagian dari kegiatan reportase budaya siswa SMAN Modal Bangsa Arun, Lhokseumawe.
Berdasarkan informasi, lembaga yang letaknya tidak jauh dari lapangan terbang Malikussaleh ini tengah fokus mengenalkan dan membangkitkan lagi kesenian mop-mop yang sudah lama tidak terdengar. Lama tidak terdengar adalah dimensi jarak yang luput dari visual kemudian hilang sebagai kabar.
Dalam buku "Seni Pertunjukan Aceh Mop Mop" karya T. Zulfajri, disebutkan bahwa mop-mop yang berkembang sejak zaman kolonial Belanda di tiga kawasan yaitu Pidie, Aceh Utara, dan Aceh Besar ini juga memiliki nama lain yaitu Biola Aceh. Keberadaan biola sebagai alat musik dan instrumen diduga kuat berasal dari Portugis yang tiba di kawasan Aceh Jaya, Lamno.
Selanjutnya mop-mop dikembangkan dengan menambah unsur keacehan seperti syair dalam bahasa Aceh. Saat ini mop-mop telah dimasukkan dalam daftar tujuh kesenian Aceh yang menggunakan material hikayat dan sastra lisan.
Mop-Mop di Lintasan Waktu
Sesampainya di lokasi, rombongan kami disambut oleh Mansur Muhammmad Alamsyah (Nyakman Lamjame), Direktur Meurak Jeumpa Institut, dan Rasyidin (Wig Maroe), ilmuwan/peneliti mop-mop, yang juga berprofesi sebagai Dosen di Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI) Aceh.
Di pondok sederhana, kami duduk melingkar, cang panah mengurai benang kusut kesenian mop-mop dari segi terminologi, sejarah, dan juga dinamika sosial budayanya.
Mengawali diskusi pada hari itu, Rasyidin menjelaskan bagaimana mop-mop yang berjumlah tiga orang dimainkan dan dipentaskan. Pertunjukannya dikemas dalam bentuk teater yang mengangkat persoalan kehidupan rumah tangga. Seorang pemain biola disebut syeh, berperan sebagai ayah. Dua orang lagi adalah sepasang pengantin baru, yaitu linto baroe dan dara baroe.
Dalam konteks masyarakat Aceh yang patriarkal, peran ayah adalah dominan sebagai kontrol sosial konflik rumah tangga. Melalui mop-mop pertikaian dipentaskan dan diselesaikan dengan cara bijak dan jenaka agar tidak memberi kesan mendikte penonton.
Peran biola dalam mop-mop adalah esensial karena suara yang dihasilkan melalui gesekan biola membuat kesenian ini bernafas di atas panggung. Penggunaan biola sebagai instrumen tidak sama seperti dalam orkestra.
Misalnya saja cara memegang biola yang diletakkan di antara lengan atas dan lengan bawah, atau cara menggeseknya yang langsung dua senar sekaligus.
Kesenian yang juga dikenal sebagai keuribeung abi di daerah Padang Tiji ini pernah jaya di tahun 60 dan 70-an. Tampil dari panggung ke panggung membuat para senimannya kerap bepergian dari satu kota ke kota lainnya memenuhi berbagai undangan.
Biasanya mereka ikut memeriahkan perhelatan pesta rakyat atau bisa juga atas undangan dari pembesar setempat.
Pada masa itu, padatnya jadwal manggung dan seringnya kelompok seniman mop-mop bepergian membuat mereka harus berimprovisasi. Peran dara baroe yang idealnya dimainkan oleh perempuan, akhirnya dimainkan oleh laki-laki.
Susunan pemain seperti itu terpaksa dilakukan karena dulu perempuan yang melakukan perjalanan antar kota, menari, dan bekerja (seni peran) di malam hari dianggap sesuatu yang tabu.
Seiring waktu, mop-mop tenggelam dan hilang dari benak masyarakat yang pernah mencintainya.
Berdasarkan penuturan Nyakman, ada empat hal yang menjadi penyebab utama. Pertama, berkepanjangannya konflik Aceh yang mengakibatkan sulitnya melakukan pementasan. Tanpa pementasan, kelompok seniman tidak punya pemasukan ekonomi, akhirnya mau tidak mau harus mencari sumber penghasilan lain. Dampak dari konflik tidak hanya berimbas pada mop-mop tapi juga seluruh kesenian Aceh.
Kedua, mop-mop butuh keterampilan khusus. Misalnya saja seorang syeh, selain harus bisa bermain biola juga harus bisa bernyanyi, bermain teater, dan berwawasan luas agar bisa menjaga dialog tetap hidup dan menghibur. Untuk menguasai seluruh aspek tersebut, perlu latihan yang serius dan waktu yang panjang.
Ketiga, saat ini mop-mop sudah tidak lagi dikenal. “Dari nama saja orang sudah tidak ingat, maka untuk mempopulerkannya butuh kampanye yang intens, baik di atas ataupun luar panggung, kemudian juga melalui media,” ungkap Nyakman.
Tetapi pada saat yang sama belum ada pemain baru yang berusia muda. Generasi sepuh yang ada saat ini sudah tidak mungkin melakukan aktivitas panggung seperti masa mudanya.
Keempat, adalah persoalan tafsir agama yaitu larangan laki-laki menyerupai perempuan. Sebagian agamawan menganggap larangan tersebut mencakup seluruh dimensi kehidupan, tidak terkecuali seni peran. Tanpa perlu memperdebatkan tafsir, nyatanya seni bukanlah sesuatu yang rigid.
“Ketika aturan main mop-mop mengizinkan laki-laki menggantikan perempuan, pada kurun waktu tertentu adalah karena keadaan,” terang Rasyidin.
Kemudian ia lanjutkan, “masa dulu perempuan punya ruang gerak terbatas karena konflik. Seharusnya sekarang ini konsep-konsep baru bisa lebih mudah dilakukan,” jelasnya saat disinggung tentang kemungkinan mengubah bentuk mop-mop agar bisa diterima seperti dulu.
Menanti Fajar Baru
Sebagaimana disampaikan Nyakman, kelompok mop-mop yang masih bertahan hanya dua grup lagi yaitu Muara Batu dan Meurak Jeumpa. Personilnya sudah tidak lengkap, sebagian sudah meninggal.
Untuk bisa menjadi satu grup saat tampil, mereka harus saling mengisi kekosongan di kelompok lain. Dua grup inilah yang tersisa dari 19 grup yang pernah jaya di era 60 dan 70-an.
Dalam rangka menyelamatkan seni yang nyaris hilang, dibutuhkan strategi dan pendekatan baru yang dapat merumuskan bentuk, cara pementasan, juga metode promosi agar bisa selaras dengan waktu dan diterima oleh masyarakat.
“Tantangan di zaman dulu beda dengan sekarang, dulu orang hanya memiliki radio sebagai hiburan sehingga peluang seniman untuk diundang tampil sangat besar,” tutur Rasyidin.
Idealnya, lanjut Rasyidin, masing-masing kesenian tradisional punya ilmuwannya dan sang ilmuwan inilah yang meriset seni pertunjukan.
Untuk mendukung tujuan di atas, sebagaimana disampaikan Nyakman, Paloh Raya sedang diupayakan menjadi prototipe destinasi wisata desa budaya. Usaha ini merupakan road map dari usaha revitalisasi kesenian Aceh terutama yang mulai langka seperti mop-mop.
Bentuk desa wisata dipilih karena dalam rangka revitalisasi kesenian maka yang harus dilakukan pertama-tama adalah menyelamatkan ekonomi masyarakat setempat terlebih dahulu, sehingga kemudian regenerasi seniman lebih mudah.
Sejalan dengan itu, Institut Meurak Jeumpa sebagai motor penggerak desa wisata juga tengah berupaya membentuk industri kreatif dengan menyatukan anak muda di desa. Program ini tentu membutuhkan usaha yang tidak mudah dan waktu yang panjang untuk bisa berhasil.
Maka dukungan dari pemerintah, masyarakat setempat, dan Aceh pada umumnya sangat dibutuhkan agar terwujud akselerasi hasil sebagaimana yang diharap dan dicita-citakan.
Semoga suatu masa nanti terbit fajar baru mop-mop Aceh dan kita berkesempatan menonton pementasan ini, dengan secangkir kopi, sepiring molen, dan tawa gembira. [Nanta Es/NAB]
Oleh: Nanta Es., Penikmat sastra dan juga bekerja di SMAN Modal Bangsa Arun.