Tradisi Kerawang Gayo Pada Keunikan Umah Edet Reje Baluntara
Salah satu keunikan atau ciri khas dari Rumah Edet Reje Baluntara ini adalah hiasan ornamen kerawang Gayo. Selain ukiran kerawang Gayo, juga terdapat ukiran lain berbentuk rantai melambangkan kerukunan sesama masyarakat, ukiran tumbuh-tumbuhan yang melambangkan masyarakat setempat dengan bercocok tanam dan ukiran-ukiran hewan seperti ikan yang melambangkan sebagai pencari ikan (nelayan) sebagai sistem mata pencaharian mereka.
Rumah Gayo merupakan rumah tinggal bagi suku Gayo dan sebagai rumah-rumah keluarga. Hal ini dikarenakan rumah tersebut dihuni oleh beberapa keluarga sehingga dibangun dan disusun sesuai dengan kebutuhan tersebut. Rumah Gayo dibangun di atas tiang (suyon) yang terletak di atas batu-batu besar sebagai penyangga (kenundulon) dan terdiri dari 4 baris meluas sehingga mempunyai 3 ruang dan 6 sampai 9 baris memanjang yang terbentuk 5 sampai 6 ruang memanjang.
Sepasang tiang yang terletak di tengah-tengah rumah dinamakan rojo dan peteri (menteri), tiang rojo di sebelah kiri dan tiang peteri disebelah kanan pintu. Sumbu rumah biasanya mengarah Timur – Barat sehingga dinamakan membujur dengan depannya menghadap ke Timur, bila sumbu rumah mengarah Utara-Selatan dinamakan melintang dan bila sumbu tersebut tidak mengarah ke arah mata angin manapun dinamakan sirung gunting.
Pada daerah Gayo Lues arah rumah disesuaikan dengan arah aliran sungai yang mengalir di dekat rumah tesebut, sehingga bagian depan rumah menghadap kearah hilir sungai.
Sisi depan dari rumah bernama rali’ (pangkal), sisi belakang bernama ujung, dan bagian tengah dinamakan lah. Pada bagian depan terdapat tangga atau kite, menuju ke lopo (rolo atau rambat) yaitu jalan lintas menuju ke serambi rawan (serambi laki-laki) yang tanpa pintu, di sebelah kiri dan menuju ke dapur yang terletak di sudut rumah yang dibatasi dengan dinding dan menuju ke serambi banan (serambi kaum wanita).
Serambi rawan terletak di sebelah kiri atau kanan tangga. Di bagian tengah rumah terdapat ruangan yang merupakan bagian dalam dari rumah (umah rindung atau atas rindung), mempunyai lantai yang ditinggikan dan dibatasi oleh dinding-dinding (rering) dari serambi dan lopo dan dibagi menjadi kamar-kamar (bilik). Kamar -kamar yang dapat dibagi banyaknya disesuaikan dengan luasnya ruangan dalam. Bilik yang terletak paling depan dekat dengan sisi rali’ dinamakan bilik rali’ dan menjadi tempat tinggal bagi tuan rumah (mpu ni umah).
Tiap-tiap bilik mempunyai satu buah pintu (pintu ni umah rindung) yang menuju ke serambi kaum wanita dengan melalui dua anak tangga. Tiap-tiap bilik digunakan sebagai kamar tidur bagi satu keluarga dan di bilik tersebut disimpan barang-barang keluarga tersebut.
Di dalam setiap bilik juga terdapat sebuah tungku dari tanah (dapur ni umah rindung) yang digunakan sebagai pemanas dan penerang. Di anjung terdapat dapur yang dipergunakan bersama-sama oleh seluruh penghuni rumah.
Serambi banan dipergunakan sebagai tempat duduk bersama kaum wanita dan sebagai tempat makan bagi pasangan suami istri. Di dalam lepo kaum wanita melaksanakan pekerjaan sehari-hari dan tempat bermain anak-anak. Serambi rawan digunakan sebagai ruangan pesta, dan biasanya kosong digunakan sebagai tempat tidur oleh kaum remaja sebelum diharuskan tidur di meresah. Setiap serambi mempunyai sebuah sisi duru (sisi yang mengarah ke umah rindung) dan sebuah sisi ukon (sisi yang mengarah ke dinding luar).
Ukon merupakan tempat bagi tamu untuk duduk, dan juga tempat bagi kaum lelaki. Tidak setiap rumah mempunyai serambi untuk kaum lelaki, di Gayo Lues sering sebuah rumah tanpa serambi untuk kaum lelaki yaitu rumah dengan 3 tiang atau 2 ruang lebarnya dan rumah tersebut dinamakan umah blah bubung. Jika ada penambahan anggota keluarga melalui perkawinan, maka ada beberapa cara yang dapat dilakukan yaitu:
- Jika biaya tidak mencukupi maka bilik yang ada akan dibagi dua.
- Melebarkan rumah dengan menambah sebuah ruangan pada salah satu serambi (biasanya serambi kaum wanita).
Salah satu Rumah Gayo yang saat ini masih berdiri kokoh yaitu Umah Edet Reje Baluntara yang berada di Dataran Tinggi Gayo tepatnya di sebelah Barat Kampung Toweren, Kecamatan Lut Tawar, Kabupaten Aceh Tengah. Rumah ini berada di titik koordinat 4°35’57”LU – 96°53’41” BT. Jarak tempuh menuju rumah edet ini sekitar 15 menit dari pusat Kota Takengon menuju arah Danau Lut Tawar.
Rumah Gayo, Umah Edet Reje Baluntara - Doc. PCB Disbudpar Aceh
Rumah ini dibangun pada tahun 1860 pada masa kekuasaan Raja pertama Kerajaan Baluntara yaitu Reje Djeluddin (1850-1895). Bisa dikatakan bahwa rumah ini merupakan satu-satunya peninggalan rumah Gayo yang masih asli bangunannya dalam usia yang diperkirakan sudah lebih dari 100 tahun yang lalu.
Kerajaan Baluntara ini pertama sekali dipimpin oleh Raja yang bernama Reje Djeluddin yang berkuasa dari tahun 1850-1895, selanjutnya kekuasaan itu diteruskan oleh keturunannya dan dijadikan sebagai Raja kedua yang bernama Reje Selamat yang berkuasa pada tahun 1896-1926. Dan raja ketiga dari kerajaan ini bernama Reje Sareh yang berkuasa pada tahun 1927-1945. (sumber: prasasti yang berada di depan Rumah Edet Baluntara).
Adapun keturunan keempat dari Kerajaan Baluntara ini yaitu Reje Syeh Syamsuddin yang saat ini masih hidup dan sebagai saksi sejarah. Beliau bercerita bahwa dahulu terdapat empat kerajaan besar di Gayo yaitu Kerajaan Linge, Kerajaan Reje Bukit, Kerajaan Syiah Utama dan Kerajaan Patiamang (Blangkejeren). Reje Baluntara ini merupakan salah satu keturunan Reje Bukit yang dulunya memimpin wilayah sekitar Danau Lut Tawar.
Pada saat pembangunan rumah ini Reje Baluntara mengundang seluruh raja yang berada di wilayah Aceh Tengah pada saat itu dan dibantu oleh masyarakat-masyarakat yang ada di wilayah kekuasaannya. Kontruksi bangunan pada Umah Edet Reje Baluntara ini yaitu berbentuk rumah panggung yang dulunya terdapat 36 tiang sebagai penyangga bangunan, terdapat juga tangga utama yang berada tepat di depan rumah dan memiliki 7 ruangan yang terdiri dari empat kamar, dua ruangan digunakan untuk menerima tamu, satu ruangan sebagai dapur dan juga terdapat 6 buah jendela dan 4 pintu.
Bangunan ini dibuat dengan menggunakan kayu terbaik dan terkuat yang ada di daerah Gayo yang masyarakatnya menyebutnya dengan kayu Medang Jempa. Bangunan ini masih dijaga agar tetap seperti pertama dibangun tanpa dilakukan pengecetan. Hanya bagian atapnya saja yang aslinya terbuat dari ijuk diganti dengan seng tebal karena takut mudah terbakar pada masa-masa konflik.
Menurut Reje Syeh Syamsuddin, bentuk bangunan awal rumah ini yaitu memiliki dapur terpisah dengan rumah utama yang dihubungkan dengan 2 buah jembatan kecil berukuran masing-masing 3 meter, didalam dapur tersebut terdapat empat ruangan yaitu ruangan untuk memasak, ruang penyimpanan dan ruangan untuk makan bersama keluarga.
Namun, oleh karena ada salah satu dari pihak mereka yang memanfaatkan situasi ketika rumah tersebut sedang tidak dihuni maka dibongkarlah bagian dapur untuk dijual kayunya sehingga bangunan dapur saat ini sudah tidak ada lagi, hanya tinggal tiang-tiangnya saja yang disimpan dibawah rumah panggung. Sekarang rumah tersebut hanya tersisa 27 tiang penyangga yang masih berdiri kokoh dan dua buah tangga yang berada di masing-masing pintu belakang.
Salah satu keunikan atau ciri khas dari Rumah Edet Reje Baluntara ini adalah hiasan ornamen kerawang Gayo dengan berbagai bentuk yang menghiasi beberapa bagiannya. Setiap tiang penyangga juga dihias sedemikian rupa dengan menggunakan ornamen kerawang Gayo, bahkan disetiap mata memandang ukiran kerawang menghiasi bangunan tersebut disetiap sudutnya. Ukiran-ukiran ini dipahat oleh pemahat yang datang dari Jawa yang bernama Sadikin dan dibantu oleh rekannya yang berasal dari Cina dengan berbagai macam corak yang melambangkan kehidupan sehari-hari masyarakat sekitar pada saat itu.
Selain ukiran khas dari kerawang Gayo juga terdapat ukiran lain yang berbentuk rantai yang melambangkan kerukunan sesama masyarakat, terdapat juga ukiran tumbuh-tumbuhan yang melambangkan masyarakat setempat dengan bercocok tanam, ada juga ukiran-ukiran hewan seperti ikan yang melambangkan sebagai pencari ikan (nelayan) sebagai sistem mata pencaharian mereka.
Menurut Bapak Syeh Syamsuddin terdapat ukiran naga sebagai hewan yang ditakuti pada saat itu namun beliau belum pernah melihat secara langsung naga tersebut, akan tetapi dulu naga dipercaya sebagai penjaga danau dan akan muncul jika orang-orang tidak patuh dengan peraturan-peraturan adat yang sudah dibuat, beliau juga mengatakan bahwa rumah ini sudah pernah diteliti oleh Belanda namun tidak mengetahui secara detail.
Saat ini Rumah Edet Reje Baluntara ini masih dijaga keasliannya, dan sudah dijadikan sebagai Situs Cagar Budaya yang harus dilestarikan karena dari keempat kerajaan besar yang ada di daerah Gayo hanya dua saja yang masih tersisa bangunannya yaitu Umah Pitu Ruang yang berada di Linge dan Umah Edet Baluntara yang berada di Toweren.
Oleh: Yudi Andika, S.S. dan Tim Permuseuman, Pelestarian Cagar Budaya
Penulis adalah Pamong Budaya Ahli Muda/ Sub Koordinator Permuseuman dan Pelestarian Cagar Budaya (PCB) pada Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Aceh.