Save Hutan Atau Tunggu Bencana Datang
Alih fungsi atau penggunaan lahan yang tidak sesuai dengan kemampuan lahan tentu akan mendatangkan mudzarat dan bencana bagi diri sendiri dan menjadi warisan buruk bagi kehidupan generasi mendatang.
Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menetapkan 21 Maret sebagai Hari Hutan Internasional (HHI) tujuannya untuk meningkatkan rasa memiliki terhadap hutan dan kesadaran betapa pentingnya hutan dan pepohonan bagi kehidupan.
Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan (UU Nomor 14 Tahun 1999)
Fungsi utama hutan adalah mensuplai oksigen bagi kebutuhan makhluk bumi dan memiliki daya serap karbon dioksida dalam jumlah besar sehingga perannya tidak bisa ditawar-tawar serta tidak bisa digantikan oleh yang lain.
Hutan juga menjadi komoditi penting dalam menjaga kelestarian dan keanekaragaman hayati flora dan fauna serta mempertahankan kesuburan tanah. Manfaat lainnya adalah sebagai reservoir air alami yang mampu menangkap dan menginfiltrasikan air ke dalam tanah sehingga memperkecil air run off (air yang mengalir di permukaan tanah) yang lazim memicu terjadinya erosi, longsor dan banjir. Selain dapat mencegah banjir, air infiltrasi yang masuk dan tersimpan di dalam tanah menjadi cadangan air pada saat musim kemarau.
Menurut ketetapan kementrian lingkungan hidup (KLH) luas hutan Indonesia 99.659.996 hektar artinya lebih luas dibandingkan hutan India, atau peringkat ke delapan dunia setelah Rusia, Brazil, Kanada, Amerika Serikat, China, Australia, Kongo, Peru, dan Laos (Kompas.com, 2022). karena itulah Indonesia dijuluki sebagai paru-paru dunia.
Klasifikasi hutan Indonesia menurut KLH terdiri dari hutan hujan tropis, hutan bakau, hutan sabana (padang rumput), hutan rawa gambut, hutan musim (monsoon forest), hutan homogen, hutan heterogen, hutan lindung, hutan suaka alam dan hutan produksi.
Hutan alami tidak selamanya dapat dipertahankan karena alih fungsi (konversi) hutan untuk peruntukan lain tidak bisa dihindari karena pertumbuhan penduduk yang terus meningkat yang berdampak juga terhadap meningkatnya kebutuhan lahan.
Namun demikian alih fungsi lahan terutama untuk pertanian dan lainnya perlu memperhatikan dan mempertimbanga sisi kemampuan lahan tersebut.
Alih fungsi atau penggunaan lahan yang tidak sesuai dengan kemampuan lahan tentu akan mendatangkan mudzarat dan bencana bagi diri sendiri dan menjadi warisan buruk bagi kehidupan generasi mendatang.
Kemampuan lahan adalah penilaian terhadap kemampuan suatu lahan untuk penggunaan tertentu yang dinilai dari faktor-faktor penghambat.
Dalam hal penggunaan lahan terutama untuk pengembangan pertanian, Arsyad (2010) membaginya delapan kelas kemampuan lahan,
Lahan kelas I, kelerengan < 3%, sesuai untuk segala jenis penggunaan pertanian mulai dari tanaman semusim, tanaman rumput, hutan produksi, cagar alam dan hutan lindung, tanpa memerlukan tindakan pengawetan tanah yang khusus.
Kelas II, kelerengan >3 % – 8 %, memiliki beberapa hambatan atau ancaman kerusakan, sesuai untuk tanaman semusim, tanaman rumput, padang penggembalaan, hutan produksi dan cagar alam.
Kelas III, kelerengan >8 – 15%, kepekaan erosi agak tinggi sampai tinggi, mempunyai hambatan yang berat yang mengurangi pilihan pengunaan membatasi lama penggunaannya bagi tanaman semusim.
Kelas IV, kelerengan >15% – 30%, pilihan tanaman lebih terbatas. Jika digunakan untuk tanaman semusim diperlukan pengelolaan yang lebih hati- hati dan tindakan konservasi yang lebih besar, tanah ini dapat digunakan untuk tanaman semusim dan tanaman pertanian dan pada umumnya, tanaman rumput, hutan produksi, padang penggembalaan, cagar alam.
Kelas V, tanah ini terletak pada topografi datar, tidak terancam erosi tetapi tergenang air, selalu dilanda banjir, atau berbatu-batu (lebih dari 90 % permukaan tanah tertutup kerikil atau batuan) atau iklim yang kurang sesuai yang membatasi pilihan pengunaannya sehingga hanya sesuai untuk tanaman rumput, padang penggembalaan, hutan produksi atau hutan lindung dan cagar alam.
Kelas VI, kelerengan agak curam (>30% – 45%), hambatan berat yang menyebabkan tidak sesuai untuk pengunaan pertanian, penggunaannya terbatas untuk tanaman rumput atau padang penggembalaan, hutan produksi, hutan lindung, atau cagar alam.
Kelas VII, terletak pada lereng yang curam (>45 % – 65%), dan/atau telah tererosi sangat berat berupa erosi parit yang sulit diperbaiki.
Kelas VIII tidak sesuai untuk budidaya pertanian, jika digunakan untuk padang rumput atau hutan produksi harus dilakukan usaha pencegahan erosi yang berat.