Nasib Meurukon Sastra Tutur Aceh di Tengah Gempuran Teknologi Digital
"Pue seubab meukroh bak pajoh bawang, Nabi neularang yoh masa dile? Puna hadis Nabi di sinan? Cie tengku baca"
Artinya: Apa sebabnya makruh makan bawang, Nabi melarang pada masa lalu? Apa ada hadis Nabi di situ? Mohon ustazd baca"
Itulah sebuah pertanyaan yang masih saya ingat ketika menjadi anggota Meurukon Aceh di Gampong (Desa_red) Paya Bili, Kecamatan Meurah Mulia, Kabupaten Aceh Utara.
Pada era tahun 1990-an ketika meurukon semarak diadakan di gampong-gampong di Aceh, meurukon dijadikan sebagai media penyampaian dakwah. Meurukon merupakan sastra tutur dalam masyarakat yang dipengaruhi oleh unsur Islam. Meurukon berasal dari awalan "meu" dan "rukon" dalam bahasa Aceh. Awalan meu merupakan yang menunjukkan pekerjaan dan rukon dalam bahasa Indonesia berarti rukun.
Dalam tradisi meurukon pertanyaan tentang rukun iman, rukun Islam, rukun shalat, dan hukum Islam lainnya sering dilontarkan kepada pihak kedua untuk memahami hukum-hukum Islam. Meurukon dapat dikatakan sebagai media dakwah, kala meurukon masih menjadi idola anak muda maupun orang tua pada masa itu.
Dewasa ini, pesatnya perkembangan teknologi yang menghadirkan media digital, meurukon sebagai media tutur sastra Aceh berisikan pesan moral dan nasehat sudah menjadi barang langka di negeri sendiri. Meurukon di Aceh saat ini hanya tersisa di beberapa daerah dan meurukon masih dilestarikan dan dilombakan.
Di Gampong Paya Bili, desa kecil tempat saya dilahirkan dulu ada grup meurukon yang dibina oleh almarhum Tengku Abdul Gani. Sebagai syaikhuna (pemimpin_red) saat itu adalah Tengku Syamsuddin Meunasah Geulumpang. Sementara kami anak-anak sebaya usia bangku Sekolah Menengah Pertama (SMP) dipimpin oleh syaikhuna cilik bernama Tengku Harwin Ilyas. Kami anak-anak senang dan gembira selalu dibawa ikut grup meurukon orang dewasa. Kala itu grup meurukon Paya Bili sering diundang menyenandungkan syiar ke penjuru kampung-kampung di Aceh Utara, bahkah ke Aceh Timur seperti ke daerah Idi dan Pereulak. Itulah kekaguman saya terhadap orang tua dan anak muda tempo dulu sangat menghargai budaya dan sastra indatu (Nenek moyang_red).
Saya masih ingat ketika sahabat Syaikuna cilik Tengku Harwin Ilyas ketika itu menyalin syair meurukon yang dituturkan oleh Tengku Syam. Anak muda berkumpul di meunasah (Surau_red)) sebagai persiapan latihan meurukon.
Kemudian grup yang satu lagi menjawab dengan syair berikut:
"Pue seubab meukroh bak pajoh bawang Nabi neularang yoh masa dile?, Puna hadis Nabi di sinan? Cie tengku baca."
Artinya: "Apa sebabnya makruh makan bawang, Nabi melarang pada masa lalu? Apa ada hadis Nabi di situ? mohon ustazd baca."
Jawabannya : "Seubab-seubab bawang nyan babah teuh mube."
Artinya: Nabi melarang makan bawang yang hukumnya makruh, karena menyebabkan bau mulut.
Jika pertanyaan sudah selesai dijawab oleh grup yang satu, kemudian dipersilakan kepada grup yang lain dengan bunyi syair berikut:
"Di aneuk murid meumada dile, pulang keu gure Tengku Syaikhuna."
Artinya: Murid sampai di sini dulu, kami kembalikan kepada guru Tengku Syaikhuna.
Uniknya dalam sejarah ini, kami anak-anak jika pergi meurukon naik mobil, ongkosnya gratis ditanggung orang tua panitia grup meurukon. Kadang-kadang diberikan makanan gratis juga. Kami anak-anak paling senang jalan-jalan tidak habis modal waktu itu. Kini hampir 20 tahun sudah berlalu. Kenangan indah masa anak-anak selalu terukir indah dalam jiwa. Saya mencintai kalian semua sahabat masa kecil.
Seiring pesatnya perkembangan teknologi, tradisi meurukon kembali hadir melalui media-media digital, untuk mengenalkan sastra tutur Aceh ini sebagai media dakwah kepada generasi muda. Semoga...!!!
Oleh : Hamdani Mulya, S.Pd., Guru Bahasa Indonesia dan Pengamat Sastra Aceh