Ketidakpastian dan Pengkhianatan dalam Kebijakan Pembangunan Aceh

Kebijakan pembangunan dan pengelolaan sumber daya alam di Aceh cenderung dipengaruhi oleh kelompok elit yang lebih mengutamakan kepentingan ekonomi Jakarta daripada kepentingan rakyat Aceh,
Sebagian besar hasil sumber daya alam Aceh tidak dinikmati oleh masyarakat lokal, melainkan lebih banyak dinikmati oleh pihak luar atau elit politik yang berkuasa.
[Nazaruddin]
Aceh, dengan sejarah panjang perjuangannya untuk mempertahankan identitas dan hak-haknya, adalah sebuah daerah yang penuh dengan tantangan kebijakan, baik dalam hal otonomi maupun pengelolaan sumber daya alam. Meski telah mengorbankan begitu banyak untuk Republik Indonesia, sejak peranannya dalam perjuangan melawan penjajahan Belanda hingga kontribusinya terhadap kemerdekaan negara, rakyat Aceh tetap merasa diabaikan.
Janji-janji yang diberikan oleh para pemimpin Indonesia, mulai dari Presiden Sukarno hingga perjanjian damai Helsinki 2005, sering kali gagal dipenuhi, menciptakan kekecewaan mendalam yang terpendam dalam masyarakat Aceh.
Pengkhianatan terhadap janji-janji politik ini menggambarkan kegagalan kebijakan yang seharusnya menciptakan keadilan dan kesejahteraan bagi rakyat Aceh. Perspektif kebijakan publik memberikan cara pandang yang jelas untuk menilai kenapa kebijakan tersebut gagal, serta bagaimana seharusnya kebijakan yang lebih berkeadilan bisa diterapkan di Aceh.
Sejarah Ketidakadilan Aceh: Dari Sukarno hingga Helsinki
Aceh memiliki sejarah yang panjang sebagai wilayah yang memiliki kedaulatan sendiri sebelum bergabung dengan Indonesia. Pada masa perjuangan melawan Belanda, Aceh dikenal sebagai wilayah yang sangat berperan dalam mendukung Indonesia, baik secara materiil maupun moral.
Misalnya, pada tahun 1948, ketika Presiden Sukarno mengunjungi Aceh untuk meminta dukungan dalam perang melawan Belanda, rakyat Aceh dengan tulus memberikan bantuan berupa emas dan dana yang kemudian digunakan untuk membeli pesawat RI-001 Seulawah, pesawat pertama Indonesia dan juga RI-002 dan tambah lagi Kapal Transportasi Laut yang digunakan untuk Impor dan Impor.
Namun, pada saat yang sama, Sukarno berjanji kepada pemimpin Aceh, Tengku Daud Beureueh, untuk memberikan kebebasan kepada Aceh untuk menjalankan syariat Islam setelah perang selesai.
Janji ini, yang disertai dengan kesungguhan Sukarno pada saat itu, tetap menjadi bagian dari narasi sejarah Aceh yang penuh dengan pengkhianatan. Setelah perang usai, janji tersebut tak pernah terwujud, dan Aceh merasa dibohongi oleh pemerintah pusat. Kondisi ini menjadi pemicu dari gerakan-gerakan yang menuntut Kemerdekaan di Aceh, yang puncaknya adalah lahirnya Gerakan Aceh Merdeka (GAM) pada 1976.
Lebih lanjut, meskipun MoU Helsinki 2005 membawa harapan baru bagi perdamaian, implementasinya jauh dari kata memadai. Janji untuk memberikan otonomi khusus yang lebih besar, serta distribusi hasil sumber daya alam yang lebih adil, masih belum sepenuhnya terlaksana. Sehingga, meskipun secara nominal Aceh diberikan status otonomi khusus dengan lahirnya UUPA Nomor 11 tahun 2006, kenyataannya rakyat Aceh tetap merasa terpinggirkan dan tidak mendapatkan manfaat yang seharusnya dari kekayaan alam yang dimilikinya.
Kebijakan: Mengapa Kebijakan Gagal di Aceh?
Dalam memahami mengapa kebijakan terkait Aceh sering gagal, kita perlu mengacu pada berbagai teori kebijakan yang mengidentifikasi faktor-faktor yang menyebabkan kebijakan tersebut tidak efektif atau tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
Policy failure atau kegagalan kebijakan yang dikemukakan oleh beberapa ahli seperti Graham Allison dan Charles Lindblom, menjelaskan bahwa kegagalan kebijakan dapat terjadi akibat kesalahan dalam perencanaan, implementasi yang tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat, atau bahkan adanya ketidaksamaan kepentingan antara pihak yang terlibat.
Dalam konteks Aceh, kegagalan kebijakan terkait pengelolaan sumber daya alam dan otonomi daerah adalah contoh nyata dari kebijakan yang tidak mencerminkan keadilan dan kebutuhan lokal.
Kebijakan pembangunan yang lebih mengutamakan kepentingan nasional dan para pemodal besar, terutama yang berpusat di Pulau Jawa, sering kali mengabaikan hak dan kepentingan rakyat Aceh. Selain itu, pemerintah pusat melalui perjanjian-perjanjian yang telah disepakati dengan Aceh, seperti MoU Helsinki, menunjukkan bagaimana ketidakmampuan pemerintah dalam menjaga komitmennya terhadap kesejahteraan rakyat Aceh.
Public choice yang diperkenalkan oleh James Buchanan juga relevan dalam memahami kebijakan yang berlaku di Aceh. Menurut James Buchanan, kebijakan publik sering kali dipengaruhi oleh kepentingan politik dan ekonomi individu atau kelompok yang memiliki kekuasaan.
Di Aceh, kebijakan pembangunan dan pengelolaan sumber daya alam cenderung dipengaruhi oleh kelompok elit yang lebih mengutamakan kepentingan ekonomi Jakarta daripada kepentingan rakyat Aceh. Hal ini mengarah pada ketimpangan distribusi kekayaan alam, di mana sebagian besar hasil sumber daya alam Aceh tidak dinikmati oleh masyarakat lokal, melainkan lebih banyak dinikmati oleh pihak luar atau elit politik yang berkuasa.
Ketidakadilan Sosial dan Kebijakan Pembangunan
Social justice dari John Rawls memberikan perspektif penting dalam membahas masalah ketidakadilan yang terjadi di Aceh. Rawls berpendapat bahwa keadilan sosial harus memastikan adanya distribusi kekayaan yang adil bagi semua lapisan masyarakat, terutama mereka yang paling terpinggirkan.
Konsep ini mengarah pada perlunya redistribusi kekayaan yang lebih merata, bukan hanya berdasarkan pada kepentingan ekonomi nasional, tetapi juga mempertimbangkan hak-hak daerah yang lebih kaya sumber daya alam.
Distributive justice dengan ekonomi politik sumber daya alam, menekankan pentingnya distribusi manfaat yang adil dari eksploitasi sumber daya. Menurutnya, keadilan distributif harus memastikan bahwa hasil dari pengelolaan sumber daya tidak hanya menguntungkan perusahaan atau elit tertentu, tetapi juga memberikan dampak positif yang merata bagi masyarakat luas.
Prinsip ini bertujuan untuk menciptakan keseimbangan antara pertumbuhan ekonomi, keadilan sosial, dan kepentingan nasional, terutama dalam konteks pengelolaan sumber daya strategis.
Namun, kenyataannya kebijakan pembangunan yang diterapkan di Aceh sering kali tidak memperhatikan prinsip keadilan sosial ini. Sebagai contoh, meskipun Aceh kaya akan minyak, gas, dan sumber daya alam lainnya, masyarakat Aceh tidak merasakan manfaat langsung dari kekayaan tersebut.
Sebagian besar hasil alam Aceh lebih banyak dinikmati oleh pihak-pihak di luar Aceh, baik pemerintah pusat maupun perusahaan-perusahaan besar yang memiliki kepentingan ekonomi di Aceh. Pemerintah pusat, melalui kebijakan yang tidak transparan dan kurang berpihak pada masyarakat Aceh, terus menerus memperburuk ketimpangan sosial yang ada.
Kebijakan centralization (sentralisasi) yang masih dominan dalam sistem pemerintahan Indonesia turut memperburuk kondisi ini. Meskipun Aceh memiliki otonomi khusus, kenyataannya kekuasaan politik dan ekonomi tetap terpusat di Jakarta, yang mengontrol sebagian besar keputusan terkait pembangunan dan pengelolaan sumber daya alam di Aceh.
Dengan demikian, meskipun ada janji otonomi, Aceh tetap berada dalam cengkeraman kekuasaan pusat yang tidak memberikan ruang bagi Aceh untuk benar-benar mengelola kekayaan alamnya demi kepentingan rakyat.
Kegagalan Implementasi MoU Helsinki: Janji yang Tak Tercapai
MoU Helsinki yang ditandatangani pada 15 Agustus 2005 seharusnya menjadi tonggak penting dalam penyelesaian konflik di Aceh. Perjanjian ini, yang membawa harapan bagi perdamaian, juga menjanjikan pemberian otonomi khusus yang lebih besar bagi Aceh dan pengelolaan kekayaan alam yang lebih adil. Namun, setelah hampir dua dekade, realisasi dari perjanjian ini masih jauh dari harapan.
Salah satu kegagalan utama MoU Helsinki adalah ketidakmampuan pemerintah pusat untuk menepati janji terkait pembagian kekayaan alam. Meskipun Aceh diberikan hak untuk mengelola sumber daya alamnya sendiri, kenyataannya, kontrol atas banyak sektor ekonomi utama, seperti minyak dan gas, masih tetap berada di tangan pemerintah pusat dan perusahaan-perusahaan besar yang memiliki kekuasaan politik.
Hasil dari sumber daya alam Aceh, yang semestinya digunakan untuk kesejahteraan rakyat Aceh, sebagian besar justru mengalir ke Jawa dan tidak memberi dampak yang signifikan terhadap kesejahteraan masyarakat lokal.
Selain itu, meskipun ada beberapa kebijakan yang mengarah pada perbaikan, seperti pembentukan badan pengelola dana otonomi khusus, implementasinya sering kali terhambat oleh birokrasi yang rumit dan ketidakmampuan daerah dalam mengelola dana tersebut secara efektif.
Hal ini memperburuk ketidakpercayaan rakyat Aceh terhadap pemerintah pusat dan menguatkan perasaan bahwa MoU Helsinki hanya menjadi sebuah simbol tanpa dampak nyata bagi rakyat Aceh.
Pemerintah Pusat Harus Merealisasikan MoU Helsinki
Implementasi MoU Helsinki bukan hanya merupakan kewajiban moral, tetapi juga kewajiban hukum yang harus ditepati oleh pemerintah pusat. MoU tersebut merupakan janji resmi yang harus dijalankan dengan serius, sebagai bentuk penghormatan terhadap proses damai dan otonomi yang telah disepakati untuk Aceh.
Salah satu poin penting dalam MoU ini adalah pemberian otonomi lebih besar bagi Aceh untuk mengelola sumber daya alam yang dimilikinya. Oleh karena itu, pemerintah pusat harus memastikan bahwa Aceh diberikan kebebasan penuh untuk memanfaatkan kekayaan alamnya demi kesejahteraan rakyat Aceh, bukan hanya untuk kepentingan pusat atau pihak luar.
Jika janji-janji tersebut tidak dipenuhi, maka kepercayaan masyarakat Aceh terhadap pemerintah pusat akan semakin luntur, dan tujuan damai yang ingin dicapai melalui MoU Helsinki akan menjadi sia-sia.
Lebih dari itu, kebebasan bagi gubernur terpilih di Aceh untuk menjalankan tugas dan tanggung jawabnya juga harus dijamin. Gubernur yang terpilih melalui jalur demokrasi oleh rakyat Aceh harus diberi wewenang yang cukup untuk mengambil keputusan yang strategis demi kemajuan Aceh.
Intervensi dari pemerintah pusat yang membatasi ruang gerak gubernur hanya akan menghambat proses pembangunan dan kesejahteraan rakyat Aceh. Gubernur seharusnya tidak diposisikan sebagai figur yang hanya bertindak sebagai perpanjangan tangan dari Jakarta, melainkan sebagai pemimpin yang mampu bekerja mandiri sesuai dengan mandat yang diberikan oleh rakyat.
Jika intervensi dari pemerintah pusat terus berlangsung, maka otonomi daerah yang dijanjikan dalam MoU Helsinki tidak akan pernah terwujud secara maksimal. Oleh karena itu, pemerintah pusat harus menghentikan segala bentuk pembatasan dan memberikan ruang yang cukup bagi gubernur Aceh untuk bekerja tanpa tekanan eksternal.
Dengan demikian, implementasi otonomi daerah dapat berjalan efektif dan dapat memberikan manfaat langsung bagi kesejahteraan rakyat Aceh, sesuai dengan tujuan awal kesepakatan damai tersebut.
Menghentikan Siklus Pengkhianatan
Kebijakan yang diterapkan di Aceh selama ini mencerminkan adanya ketidakmampuan pemerintah pusat untuk menepati janji-janji yang telah dibuat kepada rakyat Aceh. Setelah bertahun-tahun berjuang untuk mendapatkan otonomi khusus dan hak-hak politik, hasil MoU Helsinki pada 15 Agustus 2005 seharusnya membawa perubahan signifikan bagi Aceh. Namun kenyataannya, kebijakan yang ada masih jauh dari harapan masyarakat Aceh, terutama dalam hal pengelolaan sumber daya alam dan distribusi kekayaan.
Sebagai sebuah kesepakatan internasional yang diakui oleh dunia, MoU Helsinki seharusnya menjadi landasan untuk mengakhiri konflik panjang di Aceh dan memastikan keadilan sosial bagi rakyat Aceh.
Namun, pemerintah pusat harus mengakui bahwa hingga saat ini, mereka belum sepenuhnya merealisasikan apa yang dijanjikan dalam MoU tersebut. Ketidakmampuan pemerintah pusat dalam memenuhi janji-janji tersebut menjadi salah satu faktor utama mengapa rakyat Aceh masih merasakan ketidakadilan dan merasa "dikhianati".
Penting untuk dipahami bahwa pengkhianatan terhadap MoU Helsinki tidak hanya mencerminkan kegagalan politik, tetapi juga menunjukkan lemahnya sistem dalam memberikan perlindungan terhadap hak-hak dasar rakyat Aceh.
Dalam hal ini, konsep social justice (keadilan sosial) menjadi landasan utama untuk memastikan bahwa hak-hak rakyat Aceh dalam mendapatkan keadilan, kesetaraan, dan perlindungan terpenuhi.
Social justice menuntut adanya keadilan dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk akses terhadap pendidikan, kesehatan, pekerjaan, dan hak-hak sipil, yang menjadi inti dari perdamaian dan kesejahteraan rakyat.
Di sisi lain, distributive justice (keadilan distributif) menjadi prinsip penting dalam pengelolaan sumber daya alam Aceh. Prinsip ini mengatur bagaimana sumber daya alam dikelola dan didistribusikan secara adil untuk kepentingan masyarakat.
Dalam konteks Aceh, distributive justice menekankan bahwa kekayaan alam Aceh, seperti gas dan minyak bumi, tidak boleh hanya menguntungkan pihak luar atau pemerintah pusat. Sebaliknya, hasil eksploitasi sumber daya tersebut harus memberikan manfaat nyata bagi masyarakat Aceh, baik dalam bentuk pembangunan infrastruktur, pemberdayaan ekonomi, maupun peningkatan kesejahteraan sosial. Kegagalan memenuhi prinsip ini tidak hanya mengabaikan hak rakyat Aceh, tetapi juga memperdalam ketimpangan dan rasa ketidakadilan.
Lebih dari itu, untuk menghentikan siklus pengkhianatan ini, pemerintah pusat harus menepati komitmen yang telah disepakati dalam MoU Helsinki, memberikan ruang yang lebih besar bagi Aceh untuk mengelola sumber daya alam dan memprioritaskan kesejahteraan rakyat Aceh.
Dalam hal ini, otonomi fiskal dan kebijakan desentralisasi yang lebih nyata perlu diterapkan, yang memungkinkan Aceh untuk memiliki kontrol lebih besar atas hasil kekayaan alamnya.
Selain itu, pemerintah pusat harus mendukung gubernur Aceh terpilih untuk bekerja tanpa ada intervensi yang membatasi ruang gerak mereka. Gubernur yang dipilih secara demokratis oleh rakyat Aceh harus diberikan kebebasan untuk menjalankan kebijakan yang sesuai dengan kebutuhan dan kepentingan rakyat Aceh, tanpa takut akan adanya tekanan atau manipulasi politik dari pihak pusat.
Melalui penerapan kebijakan yang lebih inklusif dan partisipatif, di mana masyarakat Aceh dilibatkan dalam setiap tahap pembuatan kebijakan, maka kepercayaan terhadap pemerintah pusat akan terbangun kembali. Pemerintah Aceh, bersama dengan masyarakat, harus bekerja sama untuk memastikan bahwa kebijakan yang diambil benar-benar mencerminkan aspirasi rakyat Aceh dan memberikan manfaat langsung bagi mereka. Hanya dengan cara ini, MoU Helsinki dan otonomi yang diberikan kepada Aceh dapat diwujudkan secara maksimal, dan Aceh akan dapat menikmati hasil dari kekayaan alam yang selama ini telah diperjuangkan.
Jika pemerintah pusat mampu mewujudkan hal ini, maka Aceh akan dapat mengejar ketertinggalannya dan meraih kesejahteraan yang layak. Dalam jangka panjang, dengan kebijakan yang lebih adil, Aceh tidak hanya akan menjadi bagian yang lebih baik dari Indonesia, tetapi juga menjadi daerah yang maju, sejahtera, dan lebih mandiri dalam mengelola sumber daya alamnya. Ini adalah masa depan yang seharusnya dijanjikan oleh MoU Helsinki dan menjadi tujuan bagi seluruh pihak yang peduli terhadap masa depan Aceh.[]