Woet Kanji, Tradisi Masyarakat Aceh Ketika Datangnya Hari Asyura

Penulis : Penulis
Editor : Tim Editor Marjinal
Sep 14, 2022 06:26
0

Woet Kanji, Tradisi Masyarakat Aceh Ketika Datangnya Hari Asyura
Nadya Rahmah,  Mahasiswa Jurusan Adab dan Humaniora, Fakultas Sejarah Kebudayaan Islam, Jurusan Adab dan Humaniora - Universitas Islam Negeri Ar-Raniry  - Foto: Dok.Pribadi

 “Di dalam kehidupan masyarakat, proses memasak bubur asyura mempunyai nilai sosial dan nilai budaya. Nilai sosialnya bisa kita lihat dari kebersamaan warga yang ikut serta dalam proses memasak buburnya, hal itu juga dapat mempererat tali silaturrahmi antar sesama warga setempat”

                                      

Hari asyura merupakan salah satu hari yang bersejarah dan mempunyai makna yang mendalam bagi umat Islam. Karena pada hari asyura tersebut, umat Islam mengalami peristiwa-peristiwa penting yang terjadi di masa lalu. Hari asyura adalah hari kesepuluh yang terdapat pada bulan Muharram yang jatuh pada tanggal 10 Muharram.

Pada hari tersebut, kita sebagai umat muslim disunnahkan untuk berpuasa yang biasanya di sebut dengan ‘Puasa Assyura’. Karena seperti yang dikatakan dalam hadist Nabi, bahwa keistimewaan yang didapatkan ketika kita berpuasa pada hari asyura adalah puasa Asyura akan menghapus dosa kita setahun yang lalu.

Jauh sebelum Islam masuk ke bumi nusantara, orang-orang di jazirah Arab sudah lebih dahulu memperingati hari Asyura sebagai hari raya resmi. Mereka menyambutnya dengan berpuasa dan melakukan beberapa tradisi, mirip seperti yang kita lakukan di Indonesia.

Di Banda Aceh, tradisi menyambut bulan Asyura juga dirakayakan dengan berpuasa. Namun ada tradisi lain yang unik, yakni tradisi membuat bubur secara bersama-sama atau yang sering juga disebut woet kanji.

Bubur (kanji) yang dimasak dalam tradisi Asyura memiliki rasa yang sangat lezat dan gurih, dengan rasa rempah yang kuat dan sayur-sayuran yang menyehatkan. Bahan utamanya adalah beras, dengan rempah-rempah khas Aceh sebagai bumbunya.

Sementara itu, bahan-bahan lain yang digunakan sebagai lauk adalah sayur-sayuran, umbi-umbian, dan aneka jenis kacang-kacangan. Beberapa gampong (Desa_red) menambahkan jagung dan sagu, namun beberapa daerah lain di luar Aceh Besar ada yang menambahkan biji nangka kedalamnya.

Proses memasak bubur dalam tradisi woet kanji ini dilaksanakan oleh warga secara kolektif, yang dieksekusi oleh kaum ibu. Terkadang di rumah salah seorang warga, tetapi lebih sering di halaman meunasah (Surau_red) yang ada di gampong.

Biasanya masyarakat akan menunjuk seseorang untuk mengumpulkan uang secara bersama-sama untuk membeli bahan-bahan yang akan digunakan dalam memasak bubur, seperti beras, rempah, kayu bakar, dan keperluan lainnya.

Baca Juga OPINI Mereduksi Pelecehan Seksual Terhadap Perempuan dari Desa

Sebelum memasak, ibu-ibu biasanya akan membagi tugas secara terorganisir. Ada yang bertugas mencuci beras, membersihkan dan memotong bahan-bahan bubur, mempersiapkan api, membagikan makanan, mencuci piring, dan sebagainya. Proses memasak bubur memang lebih sering menggunakan kayu bakar, sehingga harus dilakukan oleh orang-orang yang sudah biasa melakukannya.

Setelah semuanya terkumpul, bahan-bahan ini kemudian dimasak dalam wadah yang besar. Proses memasaknya memang melelahkan, karena bubur harus terus diaduk. Waktu yang dihabiskan untuk memasak juga lebih lama, untuk memastikan bubur masak dengan sempurna.

Selama proses memasak, kaum ibu biasanya saling bercanda antara satu sama lain. Momen ketika memasak bubur ini memiliki makna tersendiri di kalangan masyarakat, karena ada nilai-nilai kebersamaan yang muncul pada saat itu.

Bubur yang telah selesai kemudian akan dibagikan ke masyarakat gampong, yang memang sedari awal sudah menunggu. Penyajiannya dibagi ke sejumlah piring oleh ibu-ibu yang ditugaskan secara khusus untuk itu.

Bubur tersebut dimakan di tempat secara bersama-sama, sebagaimana tradisi yang sudah berlangsung secara turun-temurun. Bubur yang berlebih biasanya dibagikan lagi untuk di bawa pulang oleh ibu-ibu yang memasak sebagai penghargaan untuk rasa lelah mereka.

Di dalam kehidupan masyarakat, proses memasak bubur asyura tadi mempunyai nilai-nilai tersendiri, seperti nilai sosial dan nilai budaya. Nilai sosialnya bisa kita lihat dari kebersamaan warga yang ikut serta dalam proses memasak buburnya, hal itu juga dapat mempererat tali silaturrahmi antar sesama warga setempat. Selain itu, tradisi bubur asyura ini juga mengandung nilai budaya sebagai tradisi telah dilakukan secara turun temurun.

Harapan kami, tradisi ini juga harus terus dilakukan hingga generasi yang akan datang. [Dharma Kelana Putra/NAB]

 

Banda Aceh, 14 September 2022

Oleh : Nadya Rahmah 

Penulis adalah Mahasiswa Jurusan Adab dan Humaniora, Fakultas Sejarah Kebudayaan Islam, Jurusan Adab dan Humaniora - Universitas Islam Negeri Ar-Raniry dan sedang Magang di Balai Pelestarian Nilai Budaya (BPNB) Aceh

Email: nadyarahmah016@gmail.com