Rekonstruksi Cagar Budaya Cut Meutia, Kapan?

Penulis : Penulis
Editor : Tim Editor Marjinal
Mai 21, 2022 01:45
0

Rekonstruksi Cagar Budaya Cut Meutia, Kapan?
Yusrizal Hasbi, S.H., M.H. , Dosen Fakultas Hukum Universitas Malikussaleh & Founder Self Management Indonesia - Foto : Koleksi pribadi

"Masalah terbesar yang sekarang dihadapi dalam perlindungan warisan budaya adalah infrastruktur dan minimnya pengetahuann masyarakat lokal terhadap hak-hak mereka untuk melindungi situs warisan budaya"

                                  

Budaya dan sejarahnya adalah moral, keyakinan, dan tujuan. Ketiga komponen tersebut membentuk identitas nasional suatu bangsa. Sangat penting untuk melestarikan warisan budaya dalam rangka untuk mempertahankan identitas kita sebagai sebuah bangsa. Nilai warisan budaya tidak terletak pada manifestasi budaya itu sendiri. Namun, dalam dalam pengalaman dan keterampilan yang diturunkan dari generasi ke generasi akan menjadi alarm pengingat bahwa kita bangsa yang besar, terus teguh menjaga nilai-nilai perjuangan bangsa dengan tetap menghargai jasa para pahlawan kemerdekaan, sebagaimana jasa Cut Meutia srikandi Aceh yang gigih dalam pergerakan mengusir penjajah.

Mengenang kisah perjuangan Cut Meutia sebagai pejuang Aceh yang tangguh dan ditakuti oleh Belanda, tentu akan selalu terkenang oleh keberanian dan dedikasinya untuk mengusir penjajah dari bumi nusantara. Sosok Srikandi Aceh ini menganggap bahwa perjuangannya tersebut sebagai upaya jihad untuk mempertahankan Aceh dengan metode gerilyanya. Namun, apa yang telah diperjuangkan berbanding terbalik dengan yang ia dapatkan saat ini, bukannya penghormatan, akses jalan menuju pemakamannya saja terisolir tak tersentuh kepedulian pemerintah daerah. Meski negara sudah mengangkatnya sebagai pahlawan nasional melalui Surat Keputusan Presiden Nomor 107 Tahun 1964, Kondisi makam tersebut tampak tak terurus bahkan hingga kini belum ada akses jalan yang mudah untuk dilalui peziarah.

Makam pahlawan nasional yang gugur dalam pertempuran hebat melawan pasukan Marsose Belanda pada Tanggal 25 Oktober 1910 tersebut kurang mendapat perhatian dari pemerintah setempat. Luputnya perhatian pemerintah terhadap akses jalan masuk yang terisolir serta keberadaan makam yang menyedihkan tentu sangat menggugah perhatian kita semua sebagai anak bangsa. Oleh sebab itu, diperlukan kebijakan yang nyata dari Pemerintah daerah untuk menjamin eksistensinya sebagai wisata budaya.

Bagi peziarah apabila ingin melakukan kunjungan maka harus rela menempuh perjalanan selama 7 jam berjalan kaki disebabkan perjalanan tersebut tidak bisa diakses dengan kendaraan. Peziarah juga masih bisa melewati rute dari Desa Alue Bungkoh, Kecamatan Pirak Timur, Kabupaten Aceh Utara. Kondisi ini juga diperparah dengan jalan berlumpur ketika hujan mengguyur. Padahal, makam dan rumah tradisional Cut Meutia masuk dalam situs bangunan/cagar budaya di Aceh yang seyogiyanya harus dilindungi serta terpelihara dengan baik.

Potensi Warisan Budaya

Apabila kita melihat kebutuhan untuk melestarikan warisan arsitektur yang bernilai sejarah dan budaya semakin signifikan. Pada saat yang sama sangat penting untuk mengembangkan lingkungan secara dinamis untuk menopang aktivitas kehidupan secara umum. Disadari sepenuhnya bahwa sistem pengelolaan terhadap Cagar Budaya diakui masih belum optimal oleh pemerintah daerah. Masih rendahnya kesadaran dan kepedulian sebagian masyarakat terhadap nilai penting Cagar Budaya juga menjadi pemicu.

Pentingnya warisan budaya bagi masyarakat dan potensi besarnya untuk berkontribusi pada tujuan sosial, ekonomi, dan lingkungan suatu negara. Warisan budaya tidak hanya memungkinkan pembangunan berkelanjutan dalam hal pertumbuhan ekonomi, seperti peningkatan pariwisata dan pekerjaan lokal, tetapi juga meningkatkan rasa identitas kebangsaan dan perasaan terhubung masyarakat akan sejarah masa lampau untuk meneguhkan kembali rasa persaudaraan antar rakyat di berbagai daerah di Nusantara.

Hal ini juga dipertegas kembali dalam penjelasan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 tahun 2010 tentang Cagar Budaya, disebutkan bahwa dalam Kebudayaan Indonesia yang memiliki nilai-nilai luhur harus dilestarikan guna memperkuat pengamalan Pancasila, meningkatkan kualitas hidup, memperkuat kepribadian bangsa dan kebanggaan nasional, memperkokoh persatuan bangsa dan negara, serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat sebagai arah kehidupan bangsa.

Sejatinya, pelestarian warisan budaya adalah kunci pembangunan lokal dan berkelanjutan. Tidak dapat dipungkiri budaya adalah, “jantung dari kebijakan pembangunan berkelanjutan” dan warisan “aset penting bagi kesejahteraan masyarakat dan generasi mendatang”. Perlu dipahami oleh pemerintah daerah bahwa, berinvestasi dalam warisan budaya merupakan salah satu investasi ekonomi terbaik yang dapat dilakukan oleh negara berkembang seperti Indonesia. Berinvestasi dalam konservasi warisan budaya juga menciptakan lapangan kerja lokal, yang pada akhirnya meningkatkan pariwisata. Dampak dari berkelanjutannya investasi tersebut, akan membantu mengurangi kemiskinan dan memberdayakan perempuan, pemuda dan semua pelaku usaha didaerah tersebut.

Pentingnya memasukkan pengelolaan warisan budaya dalam struktur proyek pembangunan akan mengurangi penyebab kemiskinan di Aceh. Ketika pemerintah daerah menghubungkan ekonomi, lingkungan, pembangunan sosial dan budaya sejak awal, seluruh pembangunan akan lebih berkelanjutan. Dalam hal ini, pelestarian warisan budaya di Kabupaten Aceh Utara belum berkontribusi secara naksimal pada kualitas hidup penduduk, mendukung pariwisata berkelanjutan dan melibatkan beragam pemangku kepentingan dari dalam masyarakat. Ini tentu menjadi tantangan pemerintah daerah setempat untuk menjadikan wisata budaya dan sejarah sebagai peluang untuk membangkitkan kembali rasa persatuan dan kesatuan antarrakyat sekaligus peningkatan ekonomi kreatif masyarakat.

Aceh sebagai provinsi dengan sebutan istimewa dibidang adat dan budaya. Apalagi didukung dengan pendanaan otnomi khusus seyogiyanya pemugaran dan pembangunan akses jalan menuju makam dan rumah tradisional Cut Meutia bisa realisasikan sebagai bentuk bahwa pelestarian cagar budaya dan perlindungan sejarah Cut Meutia itu sendiri. Pelaksanaan otonomi khusus di Aceh seharusnya mampu memakmurkan segala sektor perekonomian masyarakat termasuk didalamnya pelestarian nilai-nilai budaya itu sendiri. Dalam pelaksanaan otonomi khusus Pemerintah pusat telah memberikan landasan berpijak melalui Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintah Aceh, sekarang tinggal bagaimana elite di tingkat eksekutif dan legislatif Aceh melakukan penguatan dan kerja nyata terhadap kewenangan-kewenangan yang telah diberikan oleh pemerintah pusat terutama merekonstruksi kembali akses jalan dan makam Cut Meutia sebagai pahlawan nasional.

Melestarikan dan menjaga warisan budaya telah menjadi tantangan dan peluang tersendiri bagi pemerintah daerah maupun masyarakat pada umumnya. Sejatinya pemahaman tentang bangunan cagar budaya, termasuk peninggalan arkeologi suatu daerah merupakan representasi dari budaya dan sejarahnya. Warisan budaya membuat kita tetap terhubung dengan tradisi, adat istiadat, agama, kepercayaan, dan identitas suatu bangsa.

 Perihal warisan budaya juga merupakan sesuatu yang memberi orang rasa persatuan dan membantu mereka memahami asal-usul mereka. Pelestarian cagar budaya adalah tindakan atau proses yang bertujuan untuk melindungi sumber daya budaya untuk mempertahankan nilai warisannya. Ini telah terbukti sangat bermanfaat selama bertahun-tahun. Konservasi bangunan bersejarah membantu meningkatkan dampak keseluruhannya dengan melindungi nilai-nilainya.

Warisan budaya dari waktu ke waktu telah menjadi bagian penting dari kehidupan kita karena membantu kita tetap terhubung dengan leluhur kita. Oleh karena itu, ini membantu mengembangkan hubungan antara masa lalu dan masa depan, itulah sebabnya orang biasa juga harus berusaha untuk meningkatkan perlindungan dan konservasi bangunan, situs yang menjadi warisan budaya.

Berdasarkan pemikiran diatas maka sesungguhnya implementasi keistimewaan di Aceh masih jauh dari apa yang diharapkan. Bahkan, terkesan keistimewaan Aceh hanya sebatas simbol atau pernyataan saja. Sudah saatnya Pemerintah Aceh perlu memikirkan ulang bagaimana pelaksanaan keistimewaan Aceh kedepan terkait pelestarian warisan budaya. Perlunya revitalisasi keistimewaan Aceh, harus dimulai dengan kemauan dan kerja keras dari Pemerintah Aceh untuk mengalokasikan anggaran yang tepat untuk membangun akses jalan ke lokasi situs budaya Cut Metia serta pemugaran makamnya.

Penguatan kapasitas dalam mewujudkan warisan budaya dalam bingkai keistimewaan Aceh, menjaga dan mempertahankan kedaulatan NKRI dengan memadukan strategi sosial-ekonomi serta strategi pelestarian lingkungan hidup berkelanjutan menjadi sangat penting berlandaskan konsep, kebijakan, dan regulasi otonomi daerah. Menjadi penting bila penguatan tersebut bisa dilaksanakan sebagai wujud bangsa yang menghargai sejarah dan jasa pejuangnya.

Pemerintah Aceh dan Kabupaten Aceh Utara dalam menjalankan kebijakan harus bersandarkan pada semangat kekeluargaan apalagi ini menyangkut persoalan warisan budaya. Karena pada dasarnya masyarakat Aceh terdiri dari masyarakat yang majemuk dengan rangkaian perbedaan budaya. Oleh sebab itu perlu di ingat bahwa, otonomi daerah merupakan landasan konsepsi untuk sebuah kesejahteraan bersama demi terwujudnya pembangunan nasional yang berkelanjutan diwilayah NKRI termasuk didalamnya adalah kebudayaan.

Pada akhirnya, masalah terbesar yang sekarang dihadapi perlindungan warisan budaya adalah, pertama, selain pengaturan jaringan jalan, kerangka kerja juga mencakup upaya pengaturan struktur inti yang menggambarkan penataan kawasan. Penataan kawasan tersebut meliputi infrastruktur kawasan berupa jaringan sanitasi, listrik, sistem pembuangan, serta pengaturan bangunan yang ada di Komplek Cut Meutia. Kedua, otoritas terkait selalu mengatakan bahwa situasi pelestarian telah membaik; ketiga, bahwa masyarakat lokal kurang memahami tentang hak-hak mereka untuk melindungi situs warisan budaya; dan terakhir, itikad baik

Pemerintah daerah untuk memajukan dan melindungi situs budaya belum menjadi prioritas dalam setiap kebijakan. Semoga saja kedepannya ada perhatian serius dari pemerintah daerah terkait dengan warisan budaya sebagai salah satu ciri dari identitas nasional bangsa Indonesia.*** 

Oleh :  Yusrizal Hasbi, S.H., M.H
Penulis adalah Dosen Fakultas  Hukum  Universitas Malikussaleh Lhokseumawe, Founder Self Management Indonesia (SMI), Konsultan Hukum marjinal.id