Ketika Syariat Menjadi Tarikat: Puisi Keempat Hamzah Fansuri

Penulis : Penulis
Editor : Tim Editor Marjinal
Jun 30, 2022 09:16
0

Ketika Syariat Menjadi Tarikat: Puisi Keempat Hamzah Fansuri
Dr. MISWARI, M.Ud., Dosen Filsafat Islam  Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Langsa, Aceh - Foto: Koleksi pribadi

“Melepaskan diri dari kecenderungan duniawi adalah satu keharusan bagi penempuh jalan spiritual. Keharusan itu hanya dapat ditunaikan dengan konsistensi tinggi, sekaligus peningkatan kualitas dan kuantitas”

 

Aho kita yang anak Adam

Jangan lupa akan Shahi ‘Alam
Pada bahr Al-dzunub jangan terkaram
Supaya asyaq siang dan malam

Frasa yang digunakan Hamzah Fansuri pada bagian puisi ini adalah ‘Anak Adam’. Penggunaan frasa ini memiliki dua sudut pandang. Pertama, secara kosmologis sesuai dengan sistem ta’ayyun bahwa manusia sebagai anak Adam, ditentukan pada ta’ayyun ketiga sebagai kejadian ruh insani yang pada ta’ayun selanjutnya menjelma alam jasadi. 

Kejadian itu berlaku secara terus menerus. Atau dalam sistem tujuh tingkatan wujud Hamzah Fansuri, hakikat Adam adalah pada tingkatan ketiga. Setelah tingkatan pertama yakni Hakikat Haqq Ta’alla, tingkatan pertama hakikat Muhammad, baru keempat adalah alam arwah yakni hakikat ruh, tingkatan kelima adalah alam mitsal yakni hakikat bentuk, keenam adalah alam ajsam yakni hakikat jasad, berulah ketujuh alam insan yakni hakikat manusia.

Manusia yang berada pada tingkatan ketujuh berasal dari tingkatan ketiga yakni hakikat Adam yang bermanifestasi melalui hakikat ruh, hakikat bentuk, dan hakikat jasad.

Sehingga, kedua, secara sosiologis, manusia adalah makhluk materi yang bersifat spiritual. Maka manusia sebagai makhluk jasmani harus melatih kediriannya untuk menyempurakan jiwanya.

Caranya dengan menghilangkan dimensi manusiawi yang penuh dengan hawa nafsu sehingga mencapai alam jasad, kemudian meninggalkan segala jenis materi menuju alam bentuk, yakni alam yang telah meninggalkan materi dan menyisakan bentuk, persis seperti situasi alam imajinasi: memiliki bentuk tetapi telah menanggalkan jasadnya.

Kemudian menanggalkan bentuk menuju hakikat ruh, yakni situasi spiritual yang telah melampaui materi dan bentuk. Kemudian menuju hakikat Adam yang merupakan situasi alam insani hakiki. Kemudian terus melangkah sehingga menjadi insan kamil yakni hakikat Muhammad. Sampai di sanalah batas perjalanan jiwa manusia menuju Shahi ‘Alam.

Untuk itu, Hamzah Fansuri mengingatkan bahwa manusia jangan sampai tenggelam dalam lautan dosa. Siapa saja yang menyepelekan dosa kecil, maka ia tidak akan punya peluang untuk dapat meningkatkan kualitas jiwanya. Siapa saja yang telah menjadikan perbuatan dosa sebagai gaya hidup, mustahil baginya dapat menempuh perjalanan spiritual yang tidak mudah itu.

Siapa saja yang mempersiapkan diri dan terus berusaha dalam perjalanan spiritualnya, maka ia akan diberikan kemudahan oleh Allah. Siapa saja yang berhasil dalam perjalanannya, maka hidupnya akan mudah. Orang demikian akan merasakan ketenangan setiap pagi dan petang. Hatinya akan diluapi kebahagiaan pada siang dan malam. Itu adalah bukti bahwa jiwanya terus melangkah menuju penyempurnaan.

‘Asyiq-mu itu jangan bercawang
Meninggalkan dunya jangan kepalang
Suluh Muhammad yogya kau pasang
Kepada Rabb al-‘alamin yogya kau datang

Apabila seseorang telah benar-benar siap menempuh jalan spiritual, hendaknya ia konsisten untuk itu. Dalam hal ini, sebagai manusia yang telah terlena dengan segala capaian dan berbagai angan-angan tentang dunia, meninggalkan itu semua memang sangat berat. Segala kenikmatan dunia, sulit sekali ditinggalkan. Segala harapan atas kenikmatan dunia ingin sekali hendak diraih.

Jalaluddin Rumi mengibaratkan manusia yang enggan meninggalkan kenikmatan dunia seperti bayi yang berat sekali meninggalkan alam rahim. Baginya, tidak ada kenikmatan lainnya selain rahim yang sempit itu. Hanya sambil tidur saja, segala kebutuhan badan telah terpenuhi. Dia tidak tahu dunia yang luas dengan segala tantangannya sedang menanti.

Demikian juga manusia yang enggan meninggalkan kenikmatan duniawi. Dikiranya perjalanan spiritual itu berat amat. Padahal bila dia telah meninggalkan segala hasrat duniawi, akan menemukan segala kenikmatan jiwa yang belum pernah ia bayangkan.

Agar dapat memiliki konsistensi untuk meninggalkan segala kenikmatan duniawi, menuju perjalanan spiritual, dalam rangka penyempurnaan jiwa, syariat yang dibawa Nabi Muhammad adalah pegangannya. Segala sikap hidup dan berbagai amalan yang dilakukan Nabi Muhammad adalah patron bagi kehidupan kita.

Karena tidak ada manusia yang lebih mampu menghindari daya tarik duniawi dan menjadi sangat konsisten dalam perjalanan spiritual selain Nabi Muhammad. Maka itu, tidak ada yang dapat menjadi patron utama selain beliau.

Bila manusia tidak bersedia menempun jalan spiritual dengan segala kenikmatannya, maka kelak tetap saja manusia harus melakukan itu di akhirat dengan segala kesengsaraannya. Karena sudah menjadi ketetapan pasti bahwa semua makhluk kembali kepada Allah.

Oleh sebab itu, dengan segala sisi pertimbangan, sudah sepantasnya manusia datang dengan jiwa yang bahagia.

Syariat Muhammad terlalu ‘amiq
Cahayanya terang di negeri Bayt al-‘Athiq
Tandanya ghalib lagi sempurna thariq
Banyaklah kafir menjadi rafiq

Kunci untuk segala perjalanan spiritual adalah syariat yang telah dibawa Nabi Muhammad. Syariat itu adalah indikator yang jelas untuk menjamin seseorang berada dalam jalur yang benar dalam proses penyempurnaan jiwanya. Dalam jalan spiritual, perjalanan yang ditempuh amat dalam. Maka syariat adalah rambu-rambu bagi perjalanan itu.

Bila syariat telah menjadi pedoman hidup setiap orang, maka akan terwujud sebuah masyarakat yang tertib dengan pelaksanaan syariat sebagai aktualisasi dari keyakinan yang teguh kepada Allah, dan pewujudan konsistensi meneladani Nabi Muhammad. Masyarakat demikian pernah terwujud dalam masyarakat pada masa Hamzah Fansuri yakni di Aceh Darussalam.

Di sana masyarakatnya punya keyakinan yang kuat serta kesadaran yang tinggi dalam menjalankan syariat. Sehingga terbentuklah sebuah masyarakat yang terbuka terhadap segala bangsa. Dengan begitu, kemakmuran mereka hasilkan.

Setiap individu dalam masyarakat yang menjalankan syariat, akan menghadirkan sebuah kebudayaan yang menjadi representasi bagi tujuan Allah menjadikan manusia sebagai khalifah di muka bumi. Yakni menghidupkan nama-nama Tuhan, dan menjadi cermin besar bagi keindahan-Nya.

Kesempurnaan sebuah capaian adalah seperti sebuah pohon yang tumbuh menjulang dengan daun lebat yang memberi kesejukan, sekaligus memiliki akar yang menancap jauh ke dalam, sehingga menjadikan kesatuan pohoh kukuh sekaligus menyerap nutrisi terbaik.

Demikian analogi manusia yang memiliki kesempurnaan jiwa: menjelmakan prilaku mulia yang dapat membuat orang-orang bahagia, sekaligus memiliki kedalaman jiwa yang telah menempuh perjalanan spiritual yang jauh.

Dengan terwujudnya masyarakat yang menjalankan syariat, maka terbentuklah lingkungan yang setiap individunya dapat hidup bahagia. Mereka hidup rukun dan damai. Karena kebaikan yang banyak dapat memengaruhi keburukan menjadi baik.

Hal sebaliknya perlu dihindari yakni lingkungan yang didomunasi keburukan. Karena itu dapat memengaruhi kebaikan yang sedikit.

Begitulah hukum sosial berlaku. Maka dari itu, selayaknya setiap individu memiliki kesadaran untuk menaati syariat yang dibawa Nabi Muhammad, sehingga sebuah masyarakat dapat menjadi cermin bagi keindahan Tuhan.

Bayt al-‘Athiq itulah bernama Ka’bah
Di dalamnya berbuat ibadah tiada berlelah

Tempatnya ma’lum di tanah Makkah
Akan kiblat Islam menyembah Allah

Dalam tugasnya menjadi khalifah di muka bumi, manusia perlu memiliki kiblat yang dapat mengingatkannya dengan sebuah tugas spiritual yang menjadi keniscayaan, di samping segala amalan yang menjadi jawaban atas alasan apa manusia diutus ke muka bumi.

Ka’bah merupakan arah yang perlu dijadikan manusia sebagai simbol bagi kesetiaannya dalam mengemban amanat spiritual. Ka’bah merupakan jembatan yang menghubungkan dumensi nasut dan dimensi lahut.

Di Ka’bah, manusia menanggalkan segala kecenderungan duniawi untuk fokus pada dimensi spiritualnya. Dalam momen tersebut, manusia harus memusatkan segala konsentrasinya untuk mendekatkan diri dengan Allah. Ka’bah adalah sebuah tanda bagi satu hal, yakni mengingatkan manusia untuk tiada lelah dalam ibadah.

Letak Ka’bah adalah di negeri Makkah. Maka Makkah adalah simbol kota yang tidak ada apapun dilakukan manusia selain ibadah. Sehingga Makkah bagi manusia harus mampu diwujudkan di mana pun di negerinya.

Semangat Makkah harus hidup di setiap negeri, termasuk Aceh Darussalam, negerinya Hamzah Fansuri. Karena di negerinya Hamzah Fansuri dijadikan seperti Makkah, maka negeri itu disebut serambi Makkah.
Makkah adalah kiblat Islam menyembah Allah.

Secara historis, Aceh dijadikan Serambi Makkah karena melalui Aceh Darussalam masyarakat Nusantara bertolak ke Makkah. Juga secara sosiologis, Hamzah Fansuri dan sufi lainnya menjadikan Aceh Darussalah sebagai serambi Makkah, yakni menjadikan Makkah sebagai patron ibadah.

Hendaknya di mana pun berada, atmosfer Makkah harus dihidupkan, karena hasrat utama manusia adalah memenuhi desakan spiritualnya. Itu dijuwudkan melalui sarana, yang utamanya adalah ibadah.

Aho segala kita yang membawa iman
Jangan mewaqtu mengaji Qur’an
Halal dan haram terlalu bayan
Jalan kepada Tuhan jalannya ‘iyan

Seruan ini hanya kepada siapa saja yang memiliki iman. Yaitu sebuah fondasi yang melampaui doktrin dan penalaran. Iman adalah suatu fondasi kukuh bagi agama. Sementara doktrin bersifat memaksa, dan penalaran bersifat terbatas. Hanya iman yang layak menjadi bekal ideal mempelajari Al-Qur’an.

Bila dengan doktrin, maka akan banyak hikmah terlewatkan. Bila dengan nalar, banyak hikmah tak tersampaikan. Tapi dengan keimanan, memahami Al-Qur’an menjadi sangat mudah.

Dengan bekal iman, maka akan tempak jelas mana kebenaran maka kesalahan. Dengan iman, Al-Qur’an benar benar dapat menjadi pedoman. Pada Al-Qur’an telah jelas mana yang halal dan mana yang haram, jadi tidak ada yang perlu diperdebatkan.

Dengan cahaya iman, segala petunjuk Al-Qur’an bisa tersampaikan. Dengan begitu, jelaslah bahwa Al-Qur’an memuat semua petunjuk menghindari kecenderungan duniawi dan memberikan pedoman dalam menempuh perjalanan spiritual. Al-Qur’an dengan jelas mengingatkan bahwa tujuan sejati manusia adalah menemupuh jalan menuju Allah.

Qur’an itu ambil ‘kan dalil
Pada mizan Allah supaya tsaqil
Jika kau ambil syariat sebagai wakil
Pada kedua alam engkaulah jamil

Bila menjadikan Al-Qur’an sebagai keyakinan, maka ia akan menjadi pedoman untuk menghindari kecenderungan duniawi dan meraih jalan spiritual. Dengan berpegang pada Al-Qur’an, seseorang akan tetap berada dalam jalur perjalanan spiritual sekalipun di sana penalaran dan doktrin tidak dapat lagi menjangkau. Al-Qur’an akan menjadi penerang jalan dan pemberi petunjuk dalam perjalanan spiritual.

Dengan menyatukan jiwa bersama Al-Qur’an, maka setiap fakultas jiwa, mulai dari mengindra, berpikir, dan menempuh setiap tingkatan dalam perjalanan spiritual, kalam Allah itu akan selalu menjadikan jiwa teguh, sehingga seimbang berada pada jalan yang kedua sisinya adalah jurang yang terjal.

Hanya dengan menjadikan Al-Qur’an sebagai petunjuk jalan, maka selamatlah jiwa dalam perjalanan. Karena pada hakikatnya, jiwa insan dan Al-Qur’an adalah satu kesatuan dalam manifestasi yang berbeda.

Jiwa manusia telah membawa naluri kebaikan. Namun dalam kehidupan dunia, segalanya berbetuk konkrit. Sehingga keputusan yang diambil bersifat konkrit. Maka dari itu, karena naluri kebaikan itu abstrak sifatnya, perlu sebuah petunjuk yang sesuai dengan bentuk konkrit kehidupan. Di sinilah syariat menjadi sangat signifikan karena petunjuknya bersifat teknis.

Dengan menjadikan syariat sebagai pedoman, hidup di dunia menjadi mudah. Karena ia berisi panduan teknis dalam menjalankan detail kehidupan. Tidak hanya itu, syariat adalah pintu masuk menuju perjalanan spiritual.

Syariat juga dapat menjadi pertimbangan apakah seseorang yang sedang menempuh perjalanan spiritual masih berada pada jalan menuju Allah. Maka dari itu, syariat itu sangat penting, baik pada dimensi zahir, maupun dimensi batin.

Kerjakan shalat lagi dan shaim
Itulah ma’na bernama qai’m
Pada segela malam kurangkan na’im
Menafikan alam kerjakan da’im

Syariat sebagai penghantar kepada dimensi spiritual sangat tampak dalam salat. Segala gerakan salat itu adalah berada dalam dimensi zahir. Kekhusyukan di dalamnya menghantarkan kepada dimensi batin.

Shalat dapat menunjukkan bahwa sistem yang teratur pada dimensi jasmani sangat menentukan keberhasilan menuju dimensi ruhani. Demikian juga dengan puasa. Segala aktivitasnya sesuai ketentuan syariat, bila dilakukan dengan penuh kesadaran, dalam konsistensi sebagai sarana penertiban diri, maka puasa dapat menjadi tarikat kepada jalan spiritual.

Syariat sebagai aktivitas zahir yang dapat menjadi tarikat adalah syariat yang dikerjakan secara konsisten. Perhatian atas syariat semacam itu harus intens. Berbarengan itu, kualitasnya harus terus ditingkatkan. Harus terus menigkat kualitasnya, bukan statis, apalagi degradatif.

Tidak hanya terus meningkatkan kualitas amal ibadah seperti salat dan puasa yang fardhu, hasrat spiritual harus ditingkatkan yakni dengan amal sunah yang konsisten.

Salat sunat adalah ibadah yang punya nilai tinggi. Amalan tersebut, bila dilaksanakan dengan konsisten dan dengan kualitas yang baik, dapat membuat seseorang semakin jauh dari kecenderungan duniawi.

Melepaskan diri dari kecenderungan duniawi adalah satu keharusan bagi penempuh jalan spiritual. Keharusan itu hanya dapat ditunaikan dengan konsistensi tinggi, sekaligus peningkatan kualitas dan kuantitas.

Tentunya usaha itu dibarengi pelepasan diri dari segala kecenderungan duniawi. Melepaskan diri dari kecenderungan harus benar-benar menancap dalam diri.

Oleh: Dr. MISWARI, M.Ud

Dosen Filsafat Islam  Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Langsa, Aceh

Tulisan ini pernah dimuat di normalpress.id 28 Juni 2022.