Menakar Asas Persamaan di Depan Hukum

Penulis : Penulis
Editor : Tim Editor Marjinal
Des 1, 2024 03:14
0

Menakar Asas Persamaan di Depan Hukum

Prinsip persamaan di hadapan hukum merupakan prinsip dasar dalam negara hukum, yang menjamin bahwa semua individu, tanpa memandang status sosial, ekonomi, atau politik, diberikan hak dan tanggung jawab yang sama berdasarkan kerangka hukum. Prinsip ini tidak hanya berfungsi sebagai landasan konstitusional di banyak negara, termasuk Indonesia, tetapi juga sebagai pilar penting sistem peradilan global. Prinsip ini menggarisbawahi gagasan bahwa hukum harus berfungsi sebagai instrumen untuk mencapai keadilan substantif, bukan sebagai mekanisme diskriminasi.

Prinsip ini tertuang dalam dokumen hukum primer seperti konstitusi dan undang-undang serta diakui dalam berbagai konvensi internasional. Di Indonesia, Pasal 27 Ayat (1) UUD 1945 menyatakan bahwa “segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan.” Pernyataan normatif ini menetapkan dasar hukum bagi penerapan hukum yang tidak diskriminatif, dengan memastikan bahwa faktor-faktor seperti ras, agama, jenis kelamin, atau status sosial ekonomi tidak memengaruhi proses hukum. Namun, tantangan utamanya terletak pada implementasinya, yang sering kali terhambat oleh hambatan struktural, kultural, dan praktis.

Salah satu perwujudan konkret dari prinsip ini dapat dilihat dalam sistem peradilan pidana. Secara teoritis, setiap individu yang dituduh melakukan pelanggaran hukum berhak atas perlakuan yang sama. Hal ini mencakup hak untuk membela diri, praduga tak bersalah, dan akses terhadap bantuan hukum.

Meskipun demikian, masih terdapat kesenjangan antara teori dan praktik. Misalnya, perbedaan perlakuan sering kali muncul antara pelaku tindak pidana dari latar belakang sosial ekonomi yang makmur dan mereka yang berasal dari masyarakat terpinggirkan (marjinal). Individu yang kaya atau mereka yang memiliki pengaruh politik sering kali dapat memanfaatkan sumber daya untuk mendapatkan perwakilan hukum tingkat atas atau bahkan memanipulasi proses hukum. Sebaliknya, individu yang kurang mampu secara ekonomi sering kali kesulitan untuk memahami kompleksitas sistem hukum sendiri.

Selain itu, penerapan persamaan di hadapan hukum sering kali terhambat oleh diskriminasi struktural, yang berasal dari ketidakseimbangan kekuasaan yang mengakar dan bias yang tidak disadari dalam lembaga hukum dan sosial. Misalnya, perempuan dan kelompok minoritas sering kali menghadapi kendala yang lebih besar dalam mengakses keadilan. Dalam kasus kekerasan seksual, korban mungkin menghadapi stigma sosial dan sistem hukum yang kurang mendukung. Namun, prinsip persamaan di hadapan hukum menuntut agar semua individu diperlakukan dengan martabat dan rasa hormat yang sama, bebas dari stereotip atau prasangka.

Untuk mencapai prinsip ini diperlukan reformasi kelembagaan dan pergeseran paradigma budaya. Reformasi tersebut melibatkan penguatan integritas lembaga penegak hukum, peningkatan akses terhadap bantuan hukum bagi kelompok rentan, dan pemajuan pendidikan hukum di kalangan masyarakat. Hanya melalui langkah-langkah ini sistem hukum dapat menjadi instrumen yang benar-benar adil yang melayani semua anggota masyarakat.

Pada akhirnya, kesetaraan di hadapan hukum melampaui kesetaraan formal dan mencakup kesetaraan substantif. Kesetaraan formal menegaskan bahwa hukum harus berlaku secara universal, sedangkan kesetaraan substantif mengharuskan penerapan hukum mempertimbangkan konteks sosial, ekonomi, dan budaya individu. Hal ini memastikan bahwa penerapan hukum mencerminkan keadilan sejati.

Di dunia yang penuh dengan ketimpangan, kesetaraan substantif berfungsi sebagai kunci untuk memastikan bahwa hukum berfungsi tidak hanya sebagai seperangkat aturan simbolis tetapi juga sebagai wahana sejati untuk keadilan. Dengan demikian, realisasi prinsip ini tidak hanya menyoroti kualitas sistem hukum suatu negara tetapi juga mencerminkan peradaban masyarakatnya.

Oleh: Yusrizal Hasbi (Dosen Fakultas Hukum Universitas Malikussaleh)