Sejarah Suku Mante di Pedalaman Aceh

Sejarah Suku Mante di Pedalaman Aceh
Foto : Hitekno.com

Marjinal.id - “Aneuk Lacoe” adalah pemandangan yang gaib, sekaligus menakjubkan bagi anak-anak kampung Mon Mata tersebut, mereka dipercaya memiliki sihir dan kemampuan berbicara dengan hewan di hutan raya. Namun tidak seperti suku-suku lain di Aceh mereka tidak berbaur dan memilih menghindari peradaban. Ukuran “Aneuk Lacoe” itu menurut penuturan saksi mata tidak pernah ada yang mencapai satu meter, kebanyakan hanyalah setinggi balita berusia lima tahun. Namun jangan pertanyakan kegesitan mereka, begitu mendengar suara langkah kaki atau ranting patah terinjak mereka akan segera melarikan diri ke dalam hutan. Mereka hanya bisa memandangi dari jauh tanpa pernah bisa mendekati.

Jembatan Krueng Sabee

Ada pepatah di daerah Krueng Sabee dan sekitarnya jika ada anak kecil atau orang yang tidak berpakaian maka akan disebut sebagai “aneuk lacoe”. Kemunculan kurcaci atau Hobbit itu tidak hanya terjadi di daerah Krueng Sabee, kearah Selatan di mana ada sungai-sungai besar lain seperti Sungai Krueng Teunom, Krueng Woyla, Krueng Seunagan serta banyak sungai yang berbatu lainnya, oleh penduduk sekitar pada tahun-tahun tersebut. Penduduk kearah Selatan menyebut mereka dengan sebutan Orang Bante. Merekalah yang disebut dengan sebutan orang Mante.

Ditahun 1940-an orang-orang Mante tidak terlihat lagi turun ke sungai-sungai di pesisir Barat Aceh.

Asal usul suku Mante.

H.M. Zainuddin seorang pujangga (pengarang roman Jeumpa Aceh) sekaligus seorang sejarawan dalam bukunya yang monumental “Tarikh Aceh dan Nusantara” yang pertama kali diterbitkan pada tahun 1961 menyebutkan bahwa bangsa Aceh termasuk ke dalam lingkungan bangsa Melayu, yaitu bangsa-bangsa : Mante (Bante), Lanun, Sakai Jakun, Semang (orang laut), Sanun dan lain-lain. Kesemua bangsa tersebut secara etnologi, memiliki hubungan dengan bangsa Phonesia di Babylonia dan bangsa Dravida di lembah sungai Indus dan Gangga.

Pegunungan Jalin di Jantho Aceh Besar

Ia menambahkan keterangan bangsa Mante, terutama adalah penduduk Aceh Besar. Menurut cerita orang-orang tua (mythe), tempat kedudukannya di kampung Seumileuk yang disebut kampung Rumoh Dua Blah (Kampung Rumah Dua Belas), letaknya di atas Seulimeum antara kampung Jantho dengan Tangse. Seumileuk artinya daratan yang luas. Bangsa Mante inilah yang berkembang biak keseluruh lembah Aceh tiga segi dan kemudian berpindah ke lain-lain tempat.

Adapun lembah Aceh Besar itu (Aceh tiga segi) tatkala itu lautnya Indrapuri dan Tanoh Abee menjadi tempat kediaman orang Hindu. Blang Bintang, Ulee Kareng, Lam Baro, Lam Ateuk, Lam Nyong, Tungkop, Lam Nga, Tibang dan lain-lain merupakan laut yang luas. Dan menurut mythe tersebut, kalau orang hendak berhaji maka pelabuhannya di Aneuk Glee, Montasik. Ialah perigi tempat pelaut-pelaut singah mengambil air. Letak kampung Montasik sekarang adalah tepi laut, sedangkan Kampung Ateuk yang berasal dari kata “Gateuk” sebangsa ketam tanah yang hidup di air asin (payau) yang berdekatan dengan laut. Pasar yang terbesar disekitar Kuta Masah di atas Indrapuri. Menurut keterangan tersebut dapat meyakinkan kita bahwa sampai abad ke-8 Masehi pantai atau tepi laut Aceh Besar sampai dekat Indrapuri dan Tanoh Abee di dekat kaki bukit barisan, dan merupakan satu teluk yang indah pemandangannya. Jika hari ini letak geografis telah berubah disebabkan pergeseran bumi sendiri. Sampai saat ini penghidupan bangsa Aceh dahulu kala mengembara belum dapat dijelaskan oleh H.M. Zainuddin.

Sejarah Suku Mante

Catatan sejarah tentang suku Mante yang paling lengkap adalah yang disusun oleh Dada Meuraksa berjuduk “Ungkapan Sejarah Aceh” pada tahun 1975. Sebagaimana pengakuan beliau, ia melanjutkan karya dari ayahnya yaitu Tuanku Raja Keumala yang meninggal dunia di tahun 1930. Menurut Dada Meuraksa, dinasti Mante adalah dinasti tertua yang diketahui. Kerajaan Mante berpusat di Seumileuk, yaitu pedalaman Seulimeum antara Jantho, masih dalam daerah sagi XXII mukim. Kata-kata Mante berasal dari Mantenia atau Mantinea yaitu suatu kota di Yunani, dimana penduduknya disebut Mantinean. Pada abad ke 14 Sebelum Masehi (dan seterusnya selama kurang lebih 3 abad) mereka melakukan perpindahan penduduk kedaerah panas di Selatan. Mereka datang ke Yunani semula mereka mendiami pulau Kreta bagian Selatan yaitu Thessalia, menamakan suku mereka Achaea. Pada abad ke 12 Sebelum Masehi mereka diusir oleh suku Doris, lalu mereka berpindah, sebagian kedaerah Peloponnesus Utara, sebagian ke Asia Kecil (Turki), dan sebagian yang lain ke Asia tengah (lembah Kaukasus)

Mereka yang pindah ke lembah Kaukasus itu kemudian mengembara kearah Timur melalui Chaibar Pas (jurang antara dua gunung diperbatasan Afganistan dan India) mereka sampai di India Utara, dan berasimilasi dengan penduduk disana. Kemudian mereka meneruskan pengembaraan kearah Timur sampai ke Tennosering diperbatasan Burma dengan Siam, mereka berasimilasi lagi dengan bangsa Man Khemer, yaitu leluhur bangsa Kamboja dan Campa.

Kemudian mereka meneruskan pengembaraan ke Selatan dengan menyebrangi Selat Malaka. Mereka sampai ke Pulau Perca (Sumatera), dan membuat kerajaan Mante dengan berpusat di Seumileuk. Yaitu suatu tempat yang strategis untuk mendapatkan sumber emas di kaki Gunung Emas yang terletak pada satu pucuk sungai yang bercabang tiga ( di Tangse) yaitu : Sungai Krueng Aceh, Krueng Woyla (Tutut) dan Krueng Keumala. Seumileuk itu termasuk lembah Krueng Aceh, dan kemungkinan nama lembah Aceh (Aceh Raya), Krueng Aceh dan bangsa Aceh berasal dari nama suku mereka Achaia.

Adapun raja-raja dari dinasti Mante yang menjadi penguasa dan memerintah di lembah Aceh Besar itu tidak seluruhnya diketahui. Menurut catatan yang masih ada kita mengenal raja yang bernama “Maharaja Po Tuah Meuri”. Adapun raja-raja sebelumnya tidak dapat diketahui. Setelah Maharaja Po Tuan Meuri memerintah anak cucunya menurut garis lurus sambung menyambung yaitu : Maharaja Ok Meugumbak, Maharaja Jagat, Maharaja Dumet, Maharani Putro Budian. Sampai disini berakhirlah dinasti Mante tersebut. Dan sejarah berhenti mencatat dinasti suku Mante.

Maharani Putro Budian menikah dengan Maharaja Po Liang, yaitu seorang bangsawan Campa dari Indocina yang datang ke Aceh bersama rombongannya karena negerinya diserang musuh yang lebih kuat. Beliau mencari tanah air sambil mengembangkan agama Budha mazhab Hinayana sekte Mantrayana. Setelah menikahi Ratu Mante itu beliau berhasil membudhakan Aceh, dan akhirnya beliau diangkat sebagai Raja Lamuri yang pertama.

Adapun dinasti Po Liang yang memerintah kerajaan Aceh Lamuri itu menurut catatan Dada Meuraksa adalah sebagai berikut :

  1. Maharaja Po Liang. Raja Lamuri Budha I.
  2. Maharaja Beuransah. Raja Lamuri Budha II. (Anak nomor 1).
  3. Maharaja Beureuman. Raja Lamuri Budha III. (Anak nomor 2).
  4. Maharaja Binsih. Raja Lamuri Budha IV. (Anak nomor 3).
  5. Maharaja Lam Teuba, Raja Lamuri Islam I, mahzab syi’ah. Beliau adalah raja yang termasyur karena keberaniannya, keadilannya, kecerdasannya, dan terutama karena menyambut Islam yang dibawa dan didakwahkan kepadanya oleh seorang Sayid keturunan Rasulullah s.a.w. (754 M).
  6. Maharaja Gading. Islam Syiah ke II (786 M). Anak no.5 dan cucu no.4.
  7. Maharaja Banda Chairullah. Islam Syiah ke III (822 M). Anak no.6.
  8. Maharaja Cut Samah. Islam Syiah ke IV (870 M). Anak no.7.
  9. Maharaja Cut Madin. Islam Syiah ke V (916 M). Anak no.8.
  10. Maharaja Cut Malim. Islam Syiah ke VI (963 M). Anak no.9.
  11. Maharaja Cut Seudang. Islam Syiah ke VII (1034 M). Anak no.10.
  12. Maharaja Cut Samlako. Islam Syiah ke VIII (1082 M). Anak no.11.
  13. Maharaja Cut Ujo. Islam Syiah ke IX (1113 M). Anak no.12.
  14. Maharaja Cut Wali. Islam Syiah ke X (1144 M). Anak no.13.
  15. Maharaja Cut Ubit. Islam Syiah ke XI (1171 M). Anak no.13 dan adik no.14.
  16. Maharaja Cut Dhiet. Islam Syiah ke XII (1185 M). Anak no.15.
  17. Maharaja Cut Umbak. Islam Syiah ke XIII (1201 M). Anak no.16.
  18. Maharani Putro Ti Seuno. Islam Syiah ke XIV (1235 M). Anak no.17.

Suku Mante menghilang dari peradaban

Sampai disini berakhirlah kerajaan Lamuri dinasti Po Liang, Maharani Putro Ti Seuno menikah dengan Johan Syah, yang kemudian menjadi Sultan Alaidin Johan Syah, Raja Lamuri Islam Ahlussunnah Wal Jamaah ke I (1205-1235 M). Nama raja-raja dinasti Mante dan dinasti Po Liang ini diperoleh Dada Meuraksa dari salinan manuskrip T. Raja Muluk Attahasi, seorang keturunan pembesar Aceh di zaman dahulu, demikian pula juga angka-angka tahunnya. Dengan demikian mulailah dinasti Alaidin memimpin tampuk kerajaan Aceh yang kemudia diubah dari Lamuri menjadi Aceh Darussalam. Menghilangnya suku Mante dari pusat kosmopolitan Aceh masih misterius, diduga sebagian dari mereka memilih mengembara kepedalaman hutan belantara ketika Aceh mulai memeluk agama Budha pada awal masa dinasti Po Liang.

Harga Diri Suku Mante

Berdasarkan cerita hikayat, suku Mante pernah ditangkap pada masa Sultan Alaidin Ali Mughayat Syah (1514-1530). Dua orang Mante ditangkap saat itu, diduga adalah sepasang suami istri. Setelah ditangkap mereka tidak mau bicara atau makan dan memilih mati kelaparan. Sultan Ali Mughayat Syah menyesal dan menangisi kematian dua Mante ini dan mengeluarkan maklumat kepada rakyat Aceh untuk tidak menganggu mereka apabila bertemu.

Apakah Suku Mante sebangsa Hobbit seperti Gollum?

Keberadaan suku Mante di pedalaman Aceh menjadi perdebatan banyak pihak, ada yang percaya atau pun tidak. Mungkin ada yang sinis dan menganggap itu sebagai dongeng belaka. Bagi masyarakat Aceh, keberadaan mereka bagai sebuah legenda ataupun mitos, karena memang sedikit yang pernah bertemu dengan mereka. Suku Mante sendiri termasuk dalam suku Proto Melayu (Melayu Tua), yang diperkirakan sudah punah.

Penemuan kembali suku Mante?

Dalam bukunya, De Atjehers. Snouck Hurgronye mencatat meskipun ia sendiri mengaku belum pernah bertemu dengan suku tersebut. Beberapa saksi mengaku pernah melihat Mante, dan mengatakan bahwa suku ini sering ditemui di pedalaman Lokop Aceh Timur dan di pedalaman Tangse Pidie. Snouck Hurgronye sendiri mengartikan Mante sebagai istilah untuk tingkah kebodoh-bodohan dan kekanak-kanakan.

Selamatkan Hutan, Selamatkan Alam

Suku Mante telah memilih meninggalkan peradaban ke hutan. Jikalah kita mengingat pesan Sultan Alaidin Ali Mughayat Syah apa untungnya menganggu mereka? Zaman modern mungkin kejam, nasib suku Mante sama seperti berbagai flora dan fauna dalam hutan, mereka tak berdaya menghadapi gencarnya korporasi dan konglemerasi menggerus habitat mereka. Perkebunan sawit, karet bahkan yang paling menjijikan adalah penebangan hutan oleh perusahaan besar, apalagi dengan kedok perkebunan sawit dan karet. Penambangan emas, gas, dan eksplorasi hutan secara besar-besaran telah mendesak mereka. Para orang-orang serakah yang mengincar keuntungan demi mengejar keuntungan ekonomi. Tapi apakah hidup adalah semata-mata tentang kekayaan dan keserakahan?

Ketika pemimpin-pemimpin di Aceh yang lahir dari demokrasi menutup mata demi fee belaka, suku Mante pasti akan punah! Dan betapa kita merindukan seorang Alaidin Ali Mughayat Syah.

Nekmi bercerita, suatu hari Nek Nyang bercerita dengan mata berbinar, bahwa ketika erangan para suku Mante tertawa bahagia dengan gelang rotan mereka. Suara keras mereka sangat aneh sehingga para anak-anak kampung Mon Mata yang mengintip dari kejauhan bergerak mundur dan menahan nafas. Mereka bahagia untuk kebahagiaan dari mereka yang berbeda. Sebuah pemandangan yang menakjubkan, dan aliran sungai Krueng Sabee yang pelan dan berbuih-buih itu bergemericik menuju lautan. (tengkuputeh.com)