Sosok Tengku Amir Ishak, Tokoh Senior GAM (Gerakan Aceh Merdeka).
Banda Aceh, Marjinal.id - Tengku Amir Ishak atau dikenal dengan Teuku Meuntroë, yakni tokoh senior Gerakan Aceh Merdeka (GAM), meninggal dunia pada, Ahad (7/2/2021). Teuku Meuntroë pernah menjadi tokoh yang menyebarkan naskah proklamasi Kemerdekaan Aceh dan sebagai pengerak Aceh Merdeka di Medan.
Catatan tersebut tertuang dalam buku 'Dari Rimba Aceh ke Stockholm' yakni goresan tangan Dr Husaini M Hasan SpOG (Sekretaris Negara, Menteri Pendidikan dan Penerangan Aceh Merdeka).
Pada halaman ke-45 buku dengan sub judul Escape From Medan, Dr Husaini M Hasan menuliskan bahwa ideologi Aceh Merdeka mulai meluas di kalangan pemuda dan intelektual. Amir Ishak juga turut berperan dalam menyebarluaskan naskah Proklamasi Kemerdekaan Aceh.
Pada waktu yang telah ditentukan, saya menginstruksikan kepada Teuku Asnawi, Amir Ishak dan Marzuki Mahmud untuk memperbanyak dan menyebarkan naskah Proklamasi Kemerdekaan Aceh yang ditulis dalam tiga bahasa yaitu Aceh, Melayu, dan Inggris.
Mereka memperbanyak naskah dengan mesin stensil di Kantor PNP I Jalan Teuku Daud Medan yang difasilitasi oleh Teuku Sulaiman Trieng Gadeng salah seorang pimpinan di sana.
Tiga serangkai inilah menjadi tim inti penggerak Aceh Merdeka di Medan. Mereka sudah berulang kali mencetak naskah-naskah perjuangan baik siang dan malam hari, setiap Sabtu hingga Minggu sore. Mereka bekerja sangat teliti dan meninggalkan ruang stensil tanpa bekas yang mencurigakan. Hasil stensilan dibawa ke rumah Marzuki Mahmud di Toko Puspa Jalan Jend. A. Yani Nomor 73 Medan.
Naskah Proklamasi Kemerdekaan Aceh berbahasa Inggris diantar ke konsulat dan duta besar di Medan atau dikirim ke kedutaan besar di Jakarta. Dengan pertolongan dan perlindungan Allah SWT, mereka lolos dari pantauan aparat keamanan. Kegiatan ini sangatlah berisiko mengingat ancaman makar dan hukuman berat kepada pelaku.
Kondisi ketika itu sangat mengerikan. Jika tertangkap lalu diproses oleh satuan khusus yang bermarkas di Jalan Gandhi. Mereka akan disiksa sebelum dibawa ke pengadilan. Sudah banyak kasus yang terjadi, tersangka tidak sampai ke pengadilan, tetapi hilang entah ke mana. Bahkan tidak diketahui jejak dan bekasnya yakni meninggal dunia tanpa diketahui di mana kuburannya.
Demikianlah proses pengenalan dan lahirnya Aceh Merdeka semakin meluas dan mulai diterima oleh perwakilan-perwakilan asing.
Akhirnya pergerakan Aceh Merdeka terbuka kepada masyarakat terutama ketika ratusan pekerja asing di perusahaan Bechtel Inc (kontraktor yang membangun PT. Arun LNG) menemukan naskah Proklamasi Aceh Merdeka di meja kerjanya.
Ada yang menemukan naskah itu disisipkan di bawah pintu kamar tidurnya.
Penyebaran naskah di PT. Arun LNG dilakukan oleh Ilyas Nurdin, Asgadi (Abdussamad Gadeng) dan Hasballah Hasan, adik kandung saya.
Mereka ditangkap, dianiaya berat serta dipenjara dengan hukuman tiga-empat tahun penjara.
Ada informasi terbaru yang kami peroleh dari sumber terpercaya yaitu dua sahabat kami, Drs. Sayed Mudhahar Ahmad dan Ir. Usman Hasan.
Bahwa Dr. Mukhtar, Dr. Zubir, Teuku Asnawi, Amir Ishak, Marzuki Mahmud, dan saya sedang dipantau oleh Intelijen Kowilhan I.
Begitu mendapat informasi itu, kami segera menyusun langkah untuk meninggalkan Medan.
Kami mengadakan rapat kilat di rumah Dr. Mukhtar yang dihadiri oleh Tengku Hasbi dan Tengku Ilyas Leube.
Hasil rapat menyatakan kami harus secepatnya meninggalkan Medan.
Dr. Mukhtar meninggalkan Medan terlebih dahulu untuk mengatur teknis perjalanan selanjutnya, seperti siapa yang akan menjemput kami di perbatasan Medan-Aceh (Tamiang).
Menurut kesepakatan bersama. kami meninggalkan Medan secara terpisah dan bertemu kembali di Wilayah Tamiang (Teumiêng).
Dari Tamiang, bersama-sama ke Markas Besar Komando Aceh Merdeka di Wilayah Pidie.
Dr. Mukhtar yang lebih dahulu berangkat meninggalkan Medan diantar oleh Hasan Basri, penjual rokok di depan Restoran Bandung bersebelahan dengan rumah makan khas Aceh milik orang Aceh, Imum Jali dan M. Husin. Dr. Mukhtar dan Hasan Esri mengendarai vespa milik Marzuki Mahmud ke Besitang.
Dr. Mukhtar tiba di Besitang menjelang magrib. Di jembatan Besitang ada kurir yang menjemputnya secara estafet. Kemudian mengantar ke Seuruwe kawasan hutan Teumiêng. Sementara Hasan Basri kembali ke Mahmud ke Besitang, Medan.
Minggu berikutnya Teuku Asnawi dan Marzuki Mahmud meninggalkan Medan dengan Vespa yang sama yang digunakan Dr. Mukhtar. Sebelum Marzuki Mahmud dan Teuku Asnawi meninggalkan Medan, ada kesepakatan dengan Amir Ishak yang meninggalkan Medan dengan bus Nasional dan bertemu di Terminal Kuala Simpang.
Malam itu tentara banyak sekali lalu-lalang di Terminal Kuala Simpang Amir Ishak yang baru tiba segera bersembunyi di rumah Ali, saudaranya. Ali bekerja sebagai Kepala Stasiun Bus Nasional di Terminal Kuala Simpang.
SementaraAsnawi dan Marzuki Mahmud, begitu melihat situasi terminal yang tidak aman memutuskan segera melanjutkan perjalanan ke Peureulak.
Sepuluh hari kemudian setelah melanglang buana antara Idi, Peureulak, dan Langsa, Marzuki Mahmud mendapat informasi dari Hasan Basri bahwa mereka harus ke Seuruwee bertemu Dr. Mukhtar.
Sementara Amir Ishak yang sudah mengetahui informasi tersebut, segera ke Seuruwee. Rombongan ketiga adalah rombongan saya bersama Dr. Zaini Abdullah, dan Dr. Zubir. Saya memanggil Dr. Zubir dengan panggilan dokter karena menghargai pengorbanannya yang memilih hijrah di akhir pendidikannya. Dr. Zubir sudah menyelesaikan co-ass di Rumah Sakit Umum Medan dan telah ujian dokter terakhir di Fakultas Kedokteran USU. Namun Dr. Zubir tidak sempat ikut wisuda karena hijrah ke rimba. Saya menerima pesan Dr. Mukhtar melalui Hasan Basri bahwa saya harus keluar dari Medan bersama Dr. Zubir.
Dr. Mukhtar meminta saya untuk memberitahukan pada Dr. Zaini Abdullah bahwa dia juga harus meninggalkan Medan dan ikut bersama kami.
Dr. Zaini Abdullah memang tidak terlalu aktif melakukan kegiatan rahasia seperti yang kami lakukan.
Tetapi sebagai sesama teman yang banyak mengetahui kegiatan dan jaringan Aceh Merdeka ditambah pula Dr. Zaini Abdullah adalah keponakan dari Tengku Hasan M. di Tiro, bisa dipastikan dia akan ditangkap jika masih berada di Medan.
Jika ia ditangkap, banyak rahasia Aceh Merdeka yang akan tersingkap.
Setelah mendapat pesan Dr. Mukhtar, saya memanggil Dr. Zaini Abdullah dan Dr. Zubir untuk membicarakan perihal ini dan mengatur strategi keluar dari Medan.
Hari ini menjadi hari yang sangat menentukan dalam sejarah hidup saya. Hati saya, sampai dengan saat ini masih terasa berat jika membayangkannya. Ini pertama kalinya saya meninggalkan keluarga, istri dan anak-anak yang sangat membutuhkan kehadiran saya. Kebimbangan hati ini saya sampaikan kepada pemilik takdir dari kehidupan. Setelah Shalat Subuh, saya berdoa kepada Allah yang diberikan kepada orang orang terdahulu yang dikasihi dan diberi cobaan oleh Allah. Saya menyerahkan semua urusan ini kepada Allah termasuk keamanan anak dan istri. Menyerahkan keselamatan mereka di bawah perlindungan Allah dan menyerahkan hidup dan mati saya di tangan-Nya.
Saya sudah memutuskan meninggalkan keluarga dan semua yang saya miliki hanya untuk satu keteguhan yang pasti. Yaitu melanjutkan perjuangan indatu bangsa Aceh untuk memerdekakan, melepaskan bangsa Aceh dari belenggu penjajahan Indonesia dan menegakkan kembali kedaulatan Negara Aceh. Saya yakin, saya tidak sendirian.
Saya hanya segelintir orang yang berjuang dalam gelombang revolusi kemerdekaan Aceh yang sedang bergerak memperjuangkan kemerdekaannya. Perjuangan kemerdekaan Aceh sudah dimulai sejak VOC Belanda merampas kedaulatan Aceh pada tahun 1873.
Saya percaya, bahwa kondisi saya ini sudah ditakdirkan Allah. Saya ditempatkan dalam jejak para pejuang bangsa Aceh seperti halnya ayahanda yang berjuang bersama pejuang Darul Islam. Demikian pula yang saya perjuangkan dalam gerakan Aceh Merdeka bersama Dr. Mukhtar, Ir. Teuku Asnawi. dan Amir Ishak untuk menyusun strategi bersama di markas Aceh Merdeka.
Sumber: Aceh.tribunnews.com