Tuanku Raja Keumala : Ulama yang Bangsawan

Menulis riwayat hidup seorang ulama yang pahlawan dan gerilyawan, seperti tuanku raja keumala, berarti menulis riwayat zamannya, bahkan riwayat zaman sebelum dan sesudahnya, karena harus di singgung ayah dan ayahciknya (kakek), demikian pula putra-putranya. Disinilah terletak kesulitannya, terutama mengenai tuanku Raja Keumala, karena ayahnya seorang ulama, negarawan, politikus dan panglima perang, sedangkan ayahciknya seorang laksamana, panglima sebuah armada Kerajaan Aceh Darussalam.

Penulis : Penulis
Editor : Tim Editor Marjinal
Apr 24, 2020 10:13
0

Tuanku Raja Keumala : Ulama yang Bangsawan
Foto : http://hokarajalon.blogspot.com/2014/?m=1

Tuanku Raja Keumala yang lahir di Kuta Keumala pada tanggal 1 Ramadan 1297 Hijriah (1877), nama yang sebenarnya Tuanku Musa. Mungkin karena lahir di Kuta Keumala, "ibu kota hijrah" dari kerajaan Aceh Darussalam, maka namanya kemudian menjadi Tuanku Raja Keumala, sehingga namanya yang asli dilupakan orang.
Tuanku Raja Keumala, tetesan darah Tuanku Hasyim Bangta Muda dan Cutnyak Puwan, silsilahnya menanjak ke atas sampai kepada Sultan Iskandar Muda Meukuta Alam, Sultan Mahmud al-Kahhar Ali Riayat Syah, menanjak sampai kepada Malik Syah Mansur Makhdum Abi Abdillah Syekh Abdurrauf Puan Di Kandang (bukan Syekh Abdurrauf Syiahkuala).
Tuanku Hasyim Bangta Muda, ayah Tuanku Raja Keumala, mempunyai pengetahuan luas dalam berbagai bidang, hukum dan filsafat Islam, hukum
tata negara, sejarah Islam/umum, politik/siasat, ilmu kemiliteran/bela diri, bahasa Arab, Inggris, Belanda, Urdu, Melayu dan lain-lain. Pengetahuan yang banyak itu didapati dari ulama-ulama/guru-guru khusus yang disediakan ayahnya, Laksamana Tuanku Abdul Kadir. Umpamanya, pendidikan militeran/strategi/siasat perang dipelajarinya dari seorang pensiunan tinggi Turki Sebagai ahli waris Kerajaan Aceh Darussalam, Tuanku Hasyim masih belia ini menjadi kesayangan dan harapan Sultan Alaiddin Ibu Mansur Syah (1273-1286 Hijriah, atau 1857-1870). Setelah mangkat Sultan Alaiddin Ibrahim Mansur Syah, Tuanku Hasyim menolak untuk diangkat menjadi Sultan Aceh, beliau mengusulkan agar Maie Kerajaan yang terdiri dari para ulama dan uleebalang mengangkat Mahmud Syah, dan beliau sendiri memegang sejumlah jabatan penting dalam pemerintahan Sultan Alaiddin Mahmud Syah (1286-1290 Hijriah, atau 1870-1874). Pada tanggal 21 Safar 1288 Hijriah (1872) Sultan Mahmud melantik Tuanku Hasyim Bangta Muda menjadi Raisud Daulah (Kepala Pemerintahan atau Perdana Menteri), Wazirul Mu'adhdham (Menteri Besar) dan Wazirul Harb (Menter Penerangan). Jadi, dalam kerajaan tugas dan tanggung jawabnya luas dan berat sekali.
Setelah Sultan Alaiddin Mahmud Syah yang menolak "ultimatum" Belanda dan mangkat dalam perjalanan hijrah ke Indrapuri akibat perang kuman" yang dilakukan Belanda, sekali lagi Tuanku Hasyim Bangta Muda menolak keinginan Majelis Kerajaan yang hendak mengangkat beliau menjadi Sultan Aceh. Sebaliknya, beliau mengusulkan agar Majelis Kerajaan meng-angkat Muhammad Daud yang baru berusia sepuluh tahun menjadi Sultan Aceh dan beliau sendiri bersedia menjadi Mangkubumi, selagi Muhammad Daud belum dewasa.
Dalam tahun 1290 Hijriah (1874), dalam Masjid Indrapuri Muhammad Daud dilantik menjadi Sultan dengan gelar Sultan Alaiddin Muhammad Daud Syah, dan pada waktu bersamaan Tuanku Hasyim Bangta Muda dilantik menjadi Mangkubumi, dan praktis selama bertahun-tahun beliau yang menjadi
sultan, yaitu tahun-tahun yang paling sulit dalam sejarah Kerajaan Aceh Darussalam Satu keuntungan bagi Tuanku Hasyim Bangta Muda, bahwa dalam menjalankan tugas yang demikian berat dan sulit, istrinya Cutnyak Puwan (ibu Tuanku Raja Keumala) amat pandai dan bijaksana, sehingga Cutnyak Puwan bukan saja menjadi istrinya, tetapi juga menjadi pembantunya yang utama. Cutnyak Puwan, bukan saja menguasai ilmu-ilmu agama Islam, juga beliau menguasai beberapa bidang ilmu umum, terutama ilmu ketabiban, khususnya ilmu bedah, sehingga selama masa peperangan di daerah gerilya Cutnyak Puwan memimpin tim tabib/jururawat, satu pekerjaan yang amat penting pada musim berkecamuknya peperangan.
Kalau Tuanku Hasyim Bangta Muda bisa tampil sebagai ulama besar/sarjana, politikus ahli, negarawan cerdik, pemimpin yang bijak dan Panglima Besar Angkatan Perang Aceh, adalah berkat kesungguhan dan kemauan ayahnya, Laksamana Tuanku Abdul Kadir, agar putranya menjadi orang hebat" dalam Kerajaan Aceh Darussalam. Sebagai seorang Perwira Tinggi/Panglima sebuah Armada Aceh, Laksamana Tuanku Abdul Kadir bercita-cita agar putranya melebihi dirinya dalam karir militer. Kalau beliau sendiri hanya panglima sebuah armada, yaitu Armada Selat Malaka, yang bertugas mengawas dan mempertahankan pantai Aceh yang menghadap ke Selat Malaka, maka beliau menginginkan agar putranya, Tuanku Hasyim Bangta Muda, menjadi Panglima Besar Angkatan
Perang Aceh. Keinginan ayahnya terkabul. Bukan saja ayahnya yang menginginkan demikian, tetapi juga ibunya, Cutnyak Teumieng/Ja Teumieng, putri Imeum Bale, seorang bangsawan dan ulama di wilayah timur. Cutnyak Teumien, sebagaimana halnya wanita-wanita Aceh lainnya, adalah guru pertama bagi Hasyim Bangta Muda, bahkan peranan "guru pertama" sangat penting dalam membentuk watak, bakat dan iman sang anak. Kalau Hasyim Bangta Muda setelah dewasa tampil sebagai orang Aceh yang amat penting, itu adalah berkat pembentukan iman, watak dan bakat oleh ibunya, Cutnyak Teumieng (neneknya Tuanku Raja Keumala). (Sumber : Buku karangan A. Hasjmy)