Diskusi Budaya, Para Antropolog Bahas Masa Depan Aceh
BANDA ACEH - Asosiasi Antropologi Indonesia (AAI) Pengurus Daerah (Pengda) Aceh menggelar Diskusi Budaya bertajuk “Antropologi Untuk Menatap Masa Depan Aceh”. Kegiatan itu berlangsung, Jumat (15/4) di Kedai Barika Lambaro, Aceh Besar dengan menghadirkan narasumber Guru Besar Antropologi Universistas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Prof. Dr. Irwan Abdullah.
Ketua AAI Pengda Aceh, Dr. Bustami Abubakar, M.Hum mengatakan bahwa tujuan digelar Diskusi Budaya itu adalah untuk memikirkan dan mendiskusikan dinamika pembangunan kebudayaan Aceh masa kini sekaligus sebagai upaya memetakan strategi pembangunan kebudayaan Aceh di masa mendatang. Karena, itu pihaknya menggelar diskusi terbatas dengan mengundang para intelektual muda yang terhimpun dalam wadah AAI dan lembaga profesi lainnya.
Sementara, Prof. Irwan memulai paparannya dengan satu statemen yang menyentak Aceh adalah satu pilot studi yang sangat penting untuk diperbincangkan. Karena Aceh merupakan satu wilayah yang ditinjau dari segi sejarah dan kultural merupakan wilayah yang tidak pernah selesai dengan berbagai isu yang menerpanya. Karena itu, satu konsen saya yang tidak pernah berakhir tentang Aceh ini adalah bagaimana mendudukkan Aceh dalam konstalasi global sehingga Aceh menjadi satu kekuatan global yang diperhitungkan.
Menurut Prof. Irwan, hal itu bukanlah sebuah utopia atau sesuatu keinginan yang muluk. Sejarah Aceh telah membuktikan bahwa Aceh pernah menjadi pengekspor ragam komoditas ke berbagai negara di dunia.
“Namun sekarang, Aceh mengekspor apa?” ungkap Prof. Irwan, lelaki kelahiran Lhokseumawe ini.
Dalam konteks pembangunan masa kini, Prof. Irwan membandingkan Aceh dengan Sumatera Selatan (Sumsel). Menurutnya, penduduk Sumsel jauh lebih besar bahkan hampir dua kali lipat penduduk Aceh, namun anggaran pembangunan Aceh justeru hampir dua kali lipat lebih banyak dibandingkan Sumsel. Tapi, faktanya Sumsel lebih hidup dan berkembang, terutama jika ditinjau dari aspek ekonomi dan perkembangan global.
Ditambahkan Prof. Irwan, sesungguhnya Aceh memiliki civil society yang sangat kuat, tetapi kekuatan ini tidak bisa diaktivasi menjadi kekuatan aktual yang bisa membawa Aceh ke dalam satu tingkat peradaban yang maju. Hal ini dipicu oleh tiga faktor, sambung Prof. Irwan, pertama: sentimen primordialisme (primordialism sentiment). Ini ditandai dengan memudarnya identitas keacehan ketika berhadapan dengan sesama orang Aceh di wilayahnya sendiri. Identitas Aceh baru menguat saat orang Aceh berada di luar Aceh. Hal ini menyebabkan pembangunan tidak bisa dijalankan dengan baik, karena masyarakat Aceh masih terjebak dengan sentimen primordialisme yang sempit.
Kedua, ketertutupan intelektual (intellectual barriers), dimana intelektual tidak bergerak secara kolektif dan cenderung diasingkan oleh sistem politik di Aceh. Dan ketiga, semangat perlawanan (spirit of resistance) yang masih tinggi. Kondisi ini akan menjebak Aceh selalu tersendat dalam membangun negerinya.
Selain diikuti oleh pengurus AAI Pengda Aceh, Diskusi Budaya yang dipandu oleh Dharma Kelana Putra (Wakil Sekretaris AAI Aceh) itu juga turut dihadiri Kepala Balai Pelestarian Nilai Budaya (BPNB) Aceh, Drs. Nurmatias, Kepala Museum Aceh, Muda Farsah, S.Sos, Kepala Seksi Sejarah Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Aceh, Bulman Satar, S.Sos., Ketua Masyarakat Sejarawan Indonesia (MSI), Drs. Mawardi Umar, MA., Ketua Asosiasi Tradisi Lisan (ATL) Aceh, Reza Idria, Ph.D., Ketua Masyarakat Pernaskahan Nusantara (Manassa) Aceh, Hermansyah, S.Th., MA.Hum., dan Direktur Pusat Studi Sejarah & Kebudayaan Islam di Aceh dan Alam Melayu (Pusaka) Universitas Islam Negeri Ar-Raniry, Sanusi Ismail, M.Hum. (ril/12nd)