Jalan Sunyi Seorang Seniman

Penulis : Penulis
Editor : Tim Editor Marjinal
Sep 10, 2022 11:28
0

Jalan Sunyi Seorang Seniman
Momen bersama Syeh Kawi ketika reportase budaya

Ketika menuliskan judul catatan ini dengan frasa jalan sunyi, saya tidak bermaksud sunyi sebagai kesendirian yang tunggal. Seseorang tidak bisa berjalan sendiri sebagai siapapun, termasuk Syeh Kawi. Di sisinya selalu ada orang-orang yang membantu dan menguatkan langkahnya.

Oleh : Nanta Es

 

Berita duka tak pernah tepat waktu. Hari itu, Jumat tanggal 26 Agustus 2022, Syarkawi M. Syam berpulang menghadap Yang Kuasa. Rasa haru menjalar di dalam dada dan saya teringat beberapa larik puisi Ama Achmad berjudul Ajal :

ada yang mengetuk, di subuh yang segigil sepi

kedatangan yang tak dikabarkan apa pun

kecuali takdir

Setiap orang akan menemui kematiannya sendiri-sendiri. Barangkali kesendirian pada saat itu seperti sepi yang menggigil dan kata-kata hanya bisa menggeletuk.

seseorangpun berbisik pada dingin yang tiba di pintu itu;

"selamat datang, tuan."

Ajal tak mengenal istilah ramah, tetapi tiba dan mengetuk pintu adalah cara puisi membubuhi sebuah peristiwa yang bersahabat dalam kehidupan manusia.

Saya mengenal Syeh Kawi, begitu Syarkawi M. Syam biasa disapa, belum genap satu tahun. Pertemuan itu terwujud dalam satu reportase budaya untuk meliput kesenian Aceh. Syeh Kawi adalah pemain biola dalam kesenian Mop Mop, atau sebagian orang menyebutnya kesenian Biola Aceh. Era 70 dan 80-an adalah masa kejayaan kesenian yang berbentuk teater ini. Dimainkan oleh tiga orang yang mengemas dinamika rumah tangga dalam bentuk komedi.

Para siswa SMAN Modal Bangsa Arun  saat Reportase Mop Mop Aceh - Foto : Nanta Es 

Saat itu Syeh Kawi menitip pesan untuk menyambung kesenian Mop Mop, dan saya ingin sekali menafsirkannya dengan optimis. Tapi optimisme dan kesenian, terkadang (atau malah seringnya?) seperti rel kereta yang bersisian tanpa pernah bersilang untuk bertemu.

Bukankah di tengah situasi sosial yang menempatkan sains sebagai entitas utama, seni hanya dijadikan atribut pelengkap dalam upacara ataupun pesta.

Pada saat yang lain, seni juga diharuskan menanggung dosa atas bencana yang terjadi, padahal jika dikaji, jangan-jangan itu disebabkan oleh manusia yang menggunakan pengetahuan secara eksploitatif terhadap lingkungan. 

Sains lahir dari kegelisahan untuk menemukan kebenaran. Melalui sains, cara berfikir dikonstruksi di atas altar ilmiah. Sains mengkalkulasi kebutuhan manusia, atau membaca kemungkinan yang bakal terjadi pada satu tikungan waktu.

Tetapi, sains tidak akan pernah dapat menjangkau rasa dalam diri manusia. Barangkali itu sebabnya Pramoedya Ananta Toer mengatakan bahwa:

"sehebat-hebatnya ilmu pengetahuan, ia tidak berkepribadian."

Namun seni berbeda. Meski tak ada rumus yang dapat menghitung besar kecilnya sebuah rasa, seni jua yang menyapa sisi jiwa dalam diri manusia yang fitrah. Cara mencintai barangkali bisa diajarkan, tetapi cinta itu sendiri lahir dari peristiwa yang tak bisa dijelaskan.

Jika sains berorientasi pada kebenaran, maka seni mengelola rasa hingga manusia bisa menyentuh tepian waktu, mencium wangi cahaya pagi, atau mendengar bunyi Nun dalam hati yang gemetar.

Menyambung kesenian, tidak dimulai dari titik putus tanpa adanya pemahaman dinamika gerak. Ada kompleksitas yang merangkum kebermulaan, cara dilakukan, sampai mengelola dampak yang mungkin terjadi dari semenjak awal hingga kemudian hari. Mop Mop - dan beberapa kebudayaan di Aceh yang hampir hilang - adalah jerami kering di belakang rumah kita yang bisa terbakar kapan saja oleh cuaca.

Menghidupkan sebuah kesenian bukan merapikan jerami untuk ditanam kembali, tapi menemukan benih yang bisa disemai di tanah baru, dengan musim yang berbeda, juga metode dan teknologi yang selaras dengan keadaan.

Tetapi bagaimana jika hilangnya kesenian adalah keniscayaan? Untuk apa repot-repot menjaga dan menanam ini itu, sementara Yuval Noah Hariri dalam Sapien mencatat bahwa kebudayaan ternyata berjalan menuju satu kesatuan besar.

Meski yang demikian itu terjadi lebih cepat di tingkat makro (misal penggunaan bahasa Inggris sebagai bahasa dunia) untuk tingkat mikro juga tidak terlepas dari fluktuasi yang kontinu.

Ketika menuliskan judul catatan ini dengan frasa jalan sunyi, saya tidak bermaksud sunyi sebagai kesendirian yang tunggal. Seseorang tidak bisa berjalan sendiri sebagai siapapun, termasuk Syeh Kawi. Di sisinya selalu ada orang-orang yang membantu dan menguatkan langkahnya.

Satu ungkapan yang menarik pernah saya baca di media sosial;

“If you want to walk fast, walk alone, but if you want to walk far, walk togather.”

Perjalanan jauh tidak selamanya berdimensi ruang. Adakalanya mengacu pada konsep yang abstrak seperti lini masa. Itu sebabnya beberapa hal, misal ukuran keberhasilan hari esok, belum tentu bisa dipetakan secara empirik. Tetapi bahasa mampu memberi nilai bagi masa depan yang kabur itu, dan kita mengenalnya dalam keseharian sebagai mimpi, cita-cita, atau yang lebih puitik : harapan.

Saya teringat tahun-tahun di Yogyakarta ketika berkesempatan menghadiri forum diskusi Emha Ainun Nadjib. Dalam forum yang diberi nama Maiyah itu, Emha mempopulerkan istilah pejalan sebagai sikap istiqomah dan tegar.

Istilah itu melekat di benak komunitas sebagai penyemangat untuk tetap konsisten melakukan apa yang dianggap baik meski sedikit yang memahami.

Kiranya jalan sunyi jua yang menjadi upaya sederhana yang dilakukan dari waktu ke waktu. Sebagai pejalan, Syeh Kawi menjaga dan merawat tradisi yang ditelantarkan meski jauh dari pusaran popularitas. Bergerak dari tepian zaman, kemudian melingkar sambil terus mencicil satu dua hal di antara jejak kakinya yang semakin uzur.

Hidup manusia memang singkat; yang panjang adalah sejarah dan budayanya. Keduanya berkelindan membentuk tradisi, nilai, dan kepercayaan yang diwariskan ke generasi berikutnya sebagai penanda ataupun pengingat.

Tak ada yang abadi. Sejarah dan budaya hanya akan sepanjang ikhtiar orang-orang yang mau menjaganya, di jalan sunyi, atau dalam keadaan apapun dari situasi yang diberikan.

Langkah Syeh Kawi telah selesai. Berangkali keberlanjutan Mop Mop belum seperti yang diharapkan, atau barangkali juga ia telah berdamai dengan keadaan dan menyerahkan kepada pemilik waktu segala yang telah dilakukan. Saya tidak tahu apa yang tersisa setelah usaha, selain tabir.

Di penghujung tulisan ini, saya kutip kalimat dari novel Monte Cristo karya Alexandre Dumas;

“Sampai Tuhan berkenan menyibak tabir masa depan, seluruh kebijaksanaan manusia bersimpul hanya pada dua kata, yaitu menunggu dan berharap.”

Terima kasih Syeh Kawi. Selamat jalan. [NAB]

Lhokseumawe, 10 September 2022

Penulis adalah penikmat sastra. Bekerja di Sekolah Menengah Atas Negeri (SMAN) Modal Bangsa Arun Lhokseumawe.

Reportase Biola Mop Mop Aceh adalah bagian dari keikutsertaan dalam kegiatan yang diselenggarakan oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi melalui Direktorat Pelindungan Kebudayaan. Kegiatan ini diikuti oleh siswa SMAN Modal Bangsa Arun yang terlibat dalam kegiatan jurnalistik sekolah.