Keadilan di atas Kertas, Ketidakadilan di Lapangan

Keadilan adalah salah satu prinsip fundamental yang seharusnya menjadi fondasi kehidupan bermasyarakat. Di atas kertas, konsep keadilan tampak sempurna—semua orang memiliki hak yang sama di depan hukum, kesempatan yang setara, dan perlindungan yang adil dari negara. Namun, realitas di lapangan sering kali bertolak belakang. Keadilan yang digembar-gemborkan dalam perundang-undangan sering kali hanya menjadi ilusi, sedangkan ketidakadilan menjelma menjadi kenyataan pahit yang dihadapi banyak orang.
Jika kita membaca pasal-pasal dalam konstitusi atau mendengar pidato para pejabat, seolah-olah hukum telah menjadi benteng bagi semua warga negara tanpa pandang bulu. Namun, seberapa sering kita melihat bahwa hukum lebih berpihak kepada mereka yang berkuasa dan berduit? Kasus-kasus hukum besar yang melibatkan orang-orang berpengaruh kerap kali berjalan lamban atau bahkan hilang begitu saja. Sebaliknya, rakyat kecil yang tak punya daya justru dengan cepat dijerat dan dijatuhi hukuman.
Kesenjangan dalam penegakan hukum bukanlah fenomena baru. Ini adalah masalah yang mengakar dan sistemik. Contoh paling nyata bisa kita lihat dalam kasus korupsi. Para koruptor kelas kakap yang merugikan negara hingga triliunan rupiah sering kali mendapat hukuman ringan, fasilitas mewah di dalam penjara, dan bahkan pembebasan bersyarat dengan mudah. Sementara itu, seorang ibu yang mencuri makanan karena anaknya kelaparan bisa dipenjara bertahun-tahun tanpa ampun. Bagaimana keadilan bisa dikatakan hidup dalam sistem seperti ini?
Hukum, yang seharusnya menjadi pedang penegak keadilan, sering kali menjadi pisau bermata dua. Ia tajam mengiris rakyat kecil tetapi tumpul ketika berhadapan dengan mereka yang berkuasa. Bahkan ketika ada bukti kuat terhadap pelaku kejahatan dari kalangan elite, proses hukum bisa berjalan sangat lambat dengan berbagai alasan teknis dan administratif. Ini menunjukkan bahwa hukum tidak sepenuhnya netral, tetapi dapat dimanipulasi oleh mereka yang memiliki kuasa.
Ketidakadilan juga sangat terasa dalam sektor ekonomi. Jika benar bahwa setiap orang memiliki kesempatan yang sama untuk sukses, mengapa kesenjangan antara yang kaya dan miskin semakin melebar? Mengapa segelintir orang bisa menikmati kemewahan luar biasa sementara jutaan lainnya harus berjuang hanya untuk bertahan hidup?
Pemerintah sering mengklaim bahwa kebijakan ekonomi mereka telah dirancang untuk menyejahterakan rakyat. Namun, pada praktiknya, banyak kebijakan justru memperkaya segelintir orang dan menyulitkan masyarakat kelas bawah. Misalnya, bantuan finansial dan kemudahan perizinan lebih sering diberikan kepada perusahaan besar, sementara usaha kecil dan menengah harus menghadapi birokrasi yang berbelit-belit. Pajak dan beban ekonomi lainnya lebih terasa berat bagi rakyat kecil dibandingkan bagi mereka yang memiliki modal besar.
Dalam dunia pendidikan, ketidakadilan juga mengakar kuat. Anak-anak dari keluarga kaya memiliki akses ke sekolah-sekolah terbaik, fasilitas lengkap, dan bimbingan belajar eksklusif. Sementara itu, anak-anak dari keluarga miskin harus puas dengan sekolah seadanya, tenaga pengajar yang kurang memadai, dan fasilitas yang jauh dari kata layak. Bagaimana mungkin seseorang yang berangkat dari kondisi yang tidak setara dapat bersaing secara adil di masa depan?
Ironi ini terus berlanjut di dunia kerja. Buruh yang bekerja dari pagi hingga malam dengan gaji rendah masih harus berjuang untuk mendapatkan hak-hak dasar mereka, seperti upah layak dan jaminan sosial. Di sisi lain, para petinggi perusahaan menerima bonus miliaran rupiah tanpa harus merasakan beratnya kerja di lapangan. Janji kesejahteraan bagi pekerja sering kali hanya berhenti pada dokumen kebijakan, sementara praktik eksploitasi terus berlangsung.
Ketidakadilan juga terasa dalam distribusi sumber daya. Di banyak daerah, masyarakat harus bertahan hidup dengan fasilitas publik yang minim, jalan rusak, akses kesehatan yang sulit, dan pendidikan yang tertinggal. Sementara itu, di pusat-pusat kekuasaan, pembangunan berjalan dengan megah dan anggaran selalu tersedia. Kesenjangan ini menunjukkan bahwa keadilan bukan hanya soal hukum, tetapi juga soal bagaimana sumber daya dan kebijakan didistribusikan secara merata.
Jika ketidakadilan sudah begitu merajalela, apakah ada harapan untuk perubahan? Harapan itu tentu masih ada, tetapi tidak bisa hanya bergantung pada sistem yang sudah lama dikuasai oleh mereka yang memiliki kepentingan. Masyarakat harus lebih aktif dalam mengawal kebijakan publik, mengkritisi keputusan pemerintah, dan menuntut transparansi dalam penegakan hukum. Media juga memegang peran penting dalam menyuarakan ketimpangan yang terjadi, agar kasus-kasus ketidakadilan tidak hilang begitu saja.
Lebih dari itu, kesadaran individu juga sangat penting. Kita semua memiliki peran dalam menciptakan lingkungan yang lebih adil. Tidak memanfaatkan posisi atau kekuasaan untuk menindas yang lebih lemah, tidak diam ketika melihat ketidakadilan, dan tidak terjebak dalam mentalitas pasrah.
Keadilan seharusnya bukan hanya sekadar kata-kata indah dalam dokumen hukum atau pidato pejabat. Ia harus menjadi sesuatu yang nyata, yang dapat dirasakan oleh setiap warga negara tanpa terkecuali. Jika keadilan hanya hidup di atas kertas, maka yang kita hadapi bukanlah negara hukum, melainkan negara yang mempermainkan hukum. Saatnya berhenti berdiam diri dan mulai memperjuangkan keadilan, bukan hanya sebagai konsep, tetapi sebagai kenyataan.
Yusrizal Hasbi/Dosen Fakultas Hukum Universitas Malikussaleh