Buya Maarif: Kalau Rakyat Aceh Terluka, Aku pun Terluka
Marjinal.id - Sikap yang diambil Ahmad Syafii Maarif atas pemberontakan Gerakan Aceh Merdeka cukup jelas. Pertama, dia tak setuju GAM memisahkan Aceh dari Indonesia. Kedua, dia mengutuk setiap kekerasan yang dilakukan TNI terhadap rakyat karena tindakan demikian adalah kejahatan, bukan suatu keadilan.
Selama konflik Aceh, Buya Maarif senantiasa menasihati semua orang bahwa tiada manfaat yang akan datang dari saling bunuh sesama anak bangsa. Semakin banyak yang akan terluka kalau perang tak lekas disudahi.
Bagi Buya Maarif, konflik Aceh harus diselesaikan dengan pembicaraan baik-baik. Tidak boleh menonjolkan bentakan, senjata, peluru, atau kekerasan. Dan sekiranya diminta menengahi pertikaian antara GAM dengan Jakarta, dia bersedia.
“Apabila memang diperlukan, kami bersedia melakukan pertemuan dengan GAM dan dengan pihak manapun dalam rangka penyelesaian Aceh secara damai. Tidak dengan kekerasan,” katanya (Aceh dalam Berita Antara, 2004: 21).
Membunuh rakyat Aceh berarti membunuh “pemilik sah Republik yang besar ini”. Buya Maarif sadar, berkat seruan ulama-ulama karismatik Acehlah rakyat mau bergerak untuk menyokong kemerdekaan Indonesia. Pengorbanan rakyat Aceh untuk Indonesia amat tinggi nilainya, karena dimohon langsung oleh Presiden Sukarno.
Dalam Tuhan Menyapa Kita (2020), Buya Maarif mengajak semua orang Indonesia untuk bangga dan menghargai perjuangan rakyat Aceh. Dia menyebut orang-orang yang tidak berterima kasih pada heroisme rakyat Aceh adalah “mereka yang propenjajahan dengan mental budaknya yang notorious”. Para pemimpin di Jakarta yang memutuskan untuk menangani masalah Aceh dengan kekerasan termasuk golongan ini.
“Daerah modal ini diperlakukan secara tidak adil tanpa mempertimbangkan pengalaman sejarahnya yang unik itu. Kita telah banyak berbuat kesalahan, khususnya Jakarta, karena gagal mengembangkan politik kearifan terhadap Aceh. Itu adalah kecerobohan fatal politik Jakarta,” tulis Buya Maarif.
Akhirnya banyak yang terluka akibat kecerobohan itu. Bukan cuma rakyat Aceh, tetapi semua orang Indonesia yang mencintainya. Dan sebagai pembela rakyat Aceh, Buya Maarif ikut merasakan sakitnya.
“Di antara anak bangsa yang batinnya luluh terkoyak oleh konflik Aceh, saya salah seorang dari mereka itu,” Buya Maarif mengaku.
Setelah perdamaian Aceh terwujud pada 2005, Buya Maarif mengajak semua orang yang pernah bertikai agar meringankan diri untuk memohon serta memberikan maaf.
“Sekarang, yang sudah biarlah berlalu, mari kita saling memaafkan untuk tidak mengulangi kesalahan serupa di masa depan,” ajak Buya Maarif.
Buya Maarif meninggal dunia lima hari menjelang ulang tahunnya yang ke-87 (27 Mei 2022). Ia lahir pada tanggal 31 Mei 1935 di Kecamatan Sumpur Kudus, Sumatra Barat. Semasa hidupnya, sebelum meninggal dunia pada 27 Mei 2022 lalu, Ahmad Syafii Maarif selalu mengutuk setiap kekerasan yang dilakukan negara terhadap rakyat Aceh, baik ketika menangani pemberontakan Darul Islam Aceh maupun GAM.