Perayaan Maulid di ALue Bungkoh ; Masih Berpegang Pada Tradisi Leluhur
ACEH UTARA - Halaman Meunasah (Surau) Alue Bungkoh Pirak Timu Aceh Utara, terasa sempit penuh sesak warga yang mengantarkan makanan, pisang barangan bergantungan di tenda-tenda yang dipasang di halaman Meunasah, sementara di bawah Meunasah kelompok remaja dengan seragam warna-warni melatunkan puji-pujian dan shalawat kepada nabi Muhammad SAW dengan berbagai irama dan syair yang sarat pesan mendidik.
Begitulah suasana Perayaan Maulid di Gampong Alue Bungkoh, Kecamatan Pirak Timu Aceh Utara, yang digelar, Minggu (3/11/24) lalu. Bahkan satu hari sebelumnya warga sudah disibukan dengan aktifitas belanja dan memasak, untuk merayakan hari lahirnya nabi Muhammad SAW.
Menurut budayawan dan ahli manuskrip Aceh, Tarmizi A. Hamid, tradisi Maulid Nabi Muhammad SAW merupakan momen sakral yang didasari persaudaraan dengan nilai-nilai dengan makna mendalam yang berakar kuat dalam budaya masyarakat Aceh, yang diwariskan sejak zaman Kesultanan Aceh.
Maulid merupakan wujud kecintaan masyarakat Aceh kepada Rasulullah, sehingga moment ini sering kali dimanfaatkan untuk meningkatkan pemahaman kepada masyarakat serta memuliakan anak yatim dan fakir miskin.
Kenduri besar-besaran di gelar di Meunasah atau Mesjid-mesjid, anak yatim menjadi istimewa yang menjadi pembuka hidangan Maulid, mereka sangat dimuliakan pada hari itu. Selain itu maulid juga menjadi ajang silaturhami sesama warga bahkan dengan warga dari kampung tetangga.
Makanan yang tersedia berasal dari warga untuk warga, secara sukarela dan bergotong royong mereka menyediakan hidangan yang diantarkan ke Mesjid atau Meunasah tempat Maulid di gelar, lalu makanan tersebut dibagikan kepada masyarakat lainnya yang berkunjung atau yang diundang secara khusus.
“Makanan ini melambangkan semangat gotong royong dan kebersamaan masyarakat Aceh dalam berbagi rezeki, ini cerminan dari kekayaan budaya dan nilai spiritual yang diwariskan turun-temurun” ungkap Keuchik Alue Bungkoh, Muslem, S.Pd, dijumpai disela-sela perayaan Maulid.
Saat perayaan Maulid seperti ini akan terlihat kuliner khas Aceh yang jarang terlihat pada hari-hari biasa seperti , Pulot Teupunjot (ketan yang dimasak bersama santan), nasi yang dibungkus daun pisang berbentuk piramida atau biasa disebut Bu Kulah, dan kari daging sapi khas Pasee.
“Masyarakat Aceh rela berlelah lelah untuk membuatnya demi memuliakan hari kelahiran Nabi” tambah Muslem.
Saat perayaan Maulid seperti ini, warga juga mengundang keluarga jauh untuk hadir kerumahnya menikmati hidangan sehingga jalinan silaturhami yang terputus karena berbagai kesibukan kembali tersambung lewat moment Maulid.
Dilansir dari dinasdayahaceh.acehprov.go.id, konon tradisi merayakan Maulid Nabi di Aceh sudah dilakukan sejak era Sultan Ali Mughayat Syah, pendiri Kerajaan Aceh.
Dalam surat wasiat Sultan Ali Mughayat Syah yang diterbitkan pada 12 Rabiul Awal 913 Hijriah atau 23 Juli 1507, disebutkan bahwa pelaksanaan maulid Nabi dapat menyambung tali silaturahmi antar kampung di Kerajaan Aceh Darussalam.
Bahkan menurut ketua LPT PWNU Aceh, Tgk Muhammad Yasir, yang dikutip NU online, dimasa Sultan Iskandar Muda (1607-1636), Maulid di rayakan selama tiga bulan.
Hal juga juga diyakini sejarawan Aceh Husaini Ibrahim, dimasa itu kerajaan sangat makmur dan perkembangan Islam maju pesat sehingga ulama-ulama menganjurkan peringatan Maulid sampai tiga bulan yang disebut Moulod Awai (Maulid Awal), Maulod Teungoh (Maulid Tengah) dan Maulod Akhee (Maulid Akhir) sebagai wujud kecintaan pada Rasulullah dan bentuk syiar Islam.
Versi lain disebutkan perayaan Maulid di Aceh dilaksanakan selama tiga bulan sepuluh hari yang dimulai pada Rabiul Awal disebut “Buleuen Moulod atau Maulid Awal, Rabiul Akhir disebut Buleuen Adoe Moulod atau Maulid Pertengahan dan Jumadil Awal yang disebut Buleun Molod Seuneulheuh atau Maulid Akhir.
Maulod Awai digelar ditingkat gampong atau meunasah dan tatanan paling rendah, Maulod Teungoh dilaksanakan pada tingkat kemukiman atau di masjid-masjid besar sedangkan Maulod Akhee digelar oleh para raja-raja dan Ulee Balang (Bangsawan) dengan mengundang seluruh masyarakat.
Kenapa dilaksanakan tiga bulan? karena dimasa itu untuk mempersiapkan Maulid tergantung panen ikan di laut, di ladang, panen di sawah. Dan jika dilaksanakan serentak maka tidak akan ada pengikat tali persaudaraan. Makanya jangan heran jika ke Aceh suasana Maulid akan terasa tidak hanya di bula Rabiul Awal dan hingga kini tradisi merayakan Maulid Awai, Teungoh dan Akhee masih terus dilestarikan walaupun dengan versi yang berbeda.
Konon, tradisi perayaan maulid di Aceh jauh lebih meriah daripada Mesir, negara tempat perayaan itu pertama kali dilakukan oleh Panglima Perang Islam Salahuddin Al-Ayyubi.
Di Mesir, kelahiran Nabi Muhammad dirayakan dengan mengadakan berbagai kajian tentang sejarah hidup Nabi Muhammad SAW, dan saling berbagi kue-kue manis antar keluarga, tidak ada tempat berkumpul khusus untuk makan kenduri seperti yang kita saksikan di Aceh.
Makanan untuk perayaan Maulid juga khas seperti bu kulah, hidang meulapeh, dengan aneka menu masakan yang tak dijumpai pada hari biasa, masyarakatpun cenderung berlomba-lomba untuk kenduri selama tiga bulan itu.
Tradisi yang tak terlewatkan dalam perayaan Maulid adalah “Dzikee Maulod” membaca Barzanji dengan khas Aceh sebuah kitab yang dikarang oleh syeikh Ja’far Al-Barzanji yang hidup dan dimakamkan di Mesir pada 1766 M.
Kitab yang berisi puja puji kepada Rasulullah ini malah tidak populer di Mesir namun hampir semua anak-anak Aceh membaca kitab ini bahkan telah dipadukan dengan syair-syair edukatif tentang nilai-nilai Islam dan pesan moral yang dirangkai dengan gerak tari sederhana sambil duduk yang menghasilkan kreatifitas artisitik khas Aceh.
Kreatifitas artisitik seni membaca Barzanji itu dilestarikan dalam Grup Dzikee Maulod yang tersebar hampir disetiap desa yang ada di Aceh, seperti yang tampil dalam perayaan Maulid di Alue Bungkoh, yaitu Grup Dzike Dayah Nurul Iman Grup Dzike Dayah Riazul Jinan Al-Aziziah, Grup Dzike Nurul Sa’dah Grup Dzike Bahrul Huda dan Grup Dzike Bp Najmus Shaghir, semuanya dari Kecamatan Pirak Timu Aceh Utara.
Gelegar suara anak-anak yang tergabung dalam grup Dzike Maulod, dan syair-syair yang dinyanyikan dengan berbagai irama itu sekan menggetrkan tiang-tiang Meunasah Alue Bungkoh dan menarik perhatian warga yang hadir.
Bagian lain yang tak terpisahkan dari perayaan Maulid di Aceh adalah menggelar Dakwah Islamiyah pada malam harinya dengan mengundang para da’i kondang.
Walaupun lelah dengan perayaan maulid masyarakat dengan sukarela kembali bergotong rotong membangun dan menghias panggung di lapangan untuk dakwah karena tradisi di Aceh dakwah Maulid di gelar dilapangan bukan didalam Mesjid atau Meunasah bahkan sebelum dakwah berlangsung publikasi besar-besaran dilakukan, tidak hanya lewat spanduk atau poster namun juga dengan membuat pengumuman keliling ke desa-desa tetangga dengan menggunakan mobil yang dilengkapi ToA.
“ Ini bentuk ungkapan cinta masyarakat Aceh ke Rasulullah, sehingga dimanapun Maulid dilaksanakan itu menjadi milik semua masyarakat Aceh bukan milik desa tertentu, siapapun yang singgah diundang tidak diundang wajib dilayani, bebas makan semua hidangan, demikian juga dengan dakwah dilaksanakan untuk umum bebas dihadiri siapapun, makin banyak yang hadir makin besar kebanggan kami” pungkas Keuchik Alue Bungkoh. [Khadani/R25]