18 Tahun Peringatan Perdamaian Aceh, di Wilayah Samudera Pase di Warnai Zikir dan Do'a

Penulis : Penulis
Editor : Tim Editor Marjinal
Agu 15, 2023 02:00
0

18 Tahun Peringatan Perdamaian Aceh, di Wilayah Samudera Pase  di Warnai Zikir dan Do'a
Suasan peringatan 18 tahun perjanjian damai RI_GAM di kantor pusat Komite Peralihan Aceh (KPA) Wilayah Pase , Selasa (15/8/23) - Foto : Ist

ACEH UTARA - Peringatan 18 Tahun Perdamaian Aceh diwilayah Samudera Pase digelar sederhana dengan zikir dan Do'a serta santunan kepada anak yatim di Kantor Pusat, Komite Peralihan Aceh (KPA) Wilayah Samudera Pasai yang juga Sekretariat  Dewan Pimpinan Wilayah (DPW)  Partai Aceh (PA) Aceh Utara di Geudong Kecamatan Samudera, Selasa (15/8/23)

Kegiatan tersebut dihadiri  para ulama, para Calon Legislatif (Caleg) dari Partai Aceh yang akan maju ke parlemen baik ke Propinsi maupun ke Kabupaten Aceh Utara, Tokoh Masyarakat, Pemuda, Mahasiswa Pimpinan Dayah, para pimpinan Lembaga serta masyarakat .

Ketua Panitia Pelaksana kegiatan ini,  Tgk. Arafat Ali, SE., MM, mengatakan peringatan perdamaian Aceh sangat penting untuk dilaksanakan karena itu di masa mendatang setiap tahun pada tanggal 15 Agustus idealnya  pemerintah memfasilitasi kegiatan ini.

“ Mengingat hasil dari perdamaian berupa dana Otsus juga dinikmati oleh semua lapisan masyarakat baik dari sektor ekonomi, pendidikan kesehatan dan lain sebagainya maka idealnya kegiatan ini wajib di fasiflitasi oleh pemerintah” kata Arafat

Dalam kesempatan yang sama Ketua KPA,  Abubakar A. Latief  yang akrab disapa Abu Len berpesan  sangat penting menjaga perdamaian, mengingat damai adalah kunci penting dalam menyukseskan pembangunan  Aceh, oleh sebab itu harus dirawat, dipertahankan perdamaian ini, menuju Aceh yang  lebih baik, sejahtera dan bermartabat, sesuai tujuan perjanjian MoU Helsinki, 2005.

Turut hadir dalam kegiatan tersebut , Panglima Muda, Panglima sagoe, Mantan Wakil Bupati Aceh Utara, Fauzi Yusuf, Waled Muhammad Yusuf, Ketua Baitul Mal Aceh Utara, Panglima Laot, Tgk. Hamdani, Ketua DPRK Aceh Utara, Camat Samudera, Ilyas, SE Kapolsek Samudera, AKP. Saiful Bahri, Pimpinan Dayah, Himpunan Ulama Dayah (HUDA), Majelelis Ulama Nanggroe Aceh (MUNA), DPW Muda Seudang, Ketua Aneuk Syuhada Aceh, Bacaleg DPRA dan DPRK Aceh Utara, Para Geuchik dalam Wilayah Aceh Utara dan ratusan masyarakat Aceh.

 

UUPA sebagai Roh Perdamaian Aceh

Mantan Presiden Mahasiswa (Presma) Universitas Malikussaleh (Unimal) periode 2008-2009, Tgk. Muntasir,  S. Sos yang turut hadir dalam peringatan Perdamaian Aceh wilayah Pase tersebut, merespon positif apa yang disampaikan Abu Len.

Pembangunan Aceh akan berjalan sesuai rencana dalam situasi daerah yang aman dan damai, namun jangan lupa ada kesepakatan dalam perjanjian MoU Helsinki yang kemudian dijabarkan dalam sebuah aturan legal yang dirumuskan dalam Undang-Undang Nomor 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh yang populer dengan UUPA.

"UUPA inilah roh keabadian perjanjian damai Aceh, maka diperlukan Implementasi sesuai dengan perjanjian tersebut, yang menjadi harapan masyarakat Aceh menuju kemakmuran " Ujar Muntasir.

Namun sayangnya menurut mantan tenaga ahli DPR-RI 2014-2019 itu, 17 tahun sejak diundangkan hingga kini butir-butir UUPA belum terimplementasi sesuai harapan masyarakat.

Karena itu UUPA harus terus disuarakan dan diperjuangkan terus menerus secara bersama-sama melalui diplomasi dan negosiasi secara bijak, terpola dan terukur. Selain itu juga perlu dievaluasi agar damai Aceh abadi.

Tgk. Muntasir, S.Sos - Foto : dok. pribadi

 

Yang tak kalah penting menurut dia, Perdamaian harus disertai dengan peningkatan kesejahteraan masyarakat, terpenuhi hak-hak dari korban konflik yang sudah menunggu keadilan dengar sabar selama 18 tahun terakhir.

" Ini belum terjadi sesuai harapan masyarakat, masih ada butir-butir UUPA yang belum berjalan dan perlu diturunkan kedalam aturan yang lebih khusus agar bisa di Implementasikan secara legal, ketika Aceh masih menyandang predikat daerah miskin maka ini menjadi tolak ukur bahwa kesejahteraan yang diimpikan dengan dengan adanya kesepahaman damai RI-GAM dan kehadiran UUPA belum terwujud, walaupun sudah 18 tahun berlalu " Ungkap Muntasir.

Inilah yang menjadi salah satu alasan putra asli Samudera yang lama bermukim di Jakarta itu pulang ke tanah kelahirannya untuk terlibat langsung dalam kebijakan-kebijakan pemerintah dengan mencalonkan diri sebagai anggota Parlemen di tingkat Kabupaten Aceh Utara.

Ia memilih Partai Aceh sebagai kenderaan politiknya maju menuju kursi Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten (DPRK) pada Pemilu 2024 mendatang melalui Daerah Pemilihan (Dapil) 5.

Belajar dari perjalanan sejarah dan pengalaman perang Aceh yang panjang sejak zaman Belanda hingga 2005, konflik akan kembali terulang jika janji tak terealisasi dan keadilan tak terwujud.

Muntasir mengingatkan Aceh berperan penting dalam revolusi kemerdekaan, sehingga saat berkunjung ke Aceh pada 1947 Soekarno berjanji akan menerapkan Syariat Islam, bukannya terlaksana malah Propinsi Aceh dilebur menjadi bagian dari Sumatera Timur.

Akibatnya pada 23 September 1953 Tgk. Daud Bereueh menyatakan pisah dari NKRI dan bergabung dengan DI/TII  Kartosuwiryo, yang kemudian berakhir damai setelah 9 tahun bertikai dengan melahirkan  Ikrar Lamteh pada 18-22 Desember 1962 dengan kesepakatan Aceh boleh menerapkan Syariat dan diberikan hak otonom sebagai Propinsi yang disebut dengan Daerah Istimewa Aceh.

Kenyataannya Aceh tetap miskin dan kekayaan alamnya di Eksploitasi Pusat, sehingga kembali bergejolak dengan di Deklarisikannya Gerakan Aceh Merdeka (GAM) oleh Tgk. Muhammad Hasan Tiro pada 4 Desember 1976.

“ Artinya Ikrar Lamteh itu hanya sebatas tanda tangan di atas secarik kertas, yang tidak berdampak nyata terhadap kehidupan rakyat Aceh, sehingga pemberontakan kembali terjadi” ungkap Muntasir.

Hampir 30 tahun berkonflik dengan puluhan ribu korban jiwa dan harta dari kedua belah pihak, kembali berakhir di meja perundingan yang melahirkan Perjanjian Damai RI dan GAM atau  MoU Helsinki pada 15 Agustus 2015.

Implementasinya dalam dalam UUPA atau Undang-undang Nomor 11 tahun 2006 yang idealnya melahirkan turunan lainnya yang menjadi dasar pencapaian berbagai kesepahaman yang tertuang dalam MoU Helsinki.

“ Nah ini yang perlu terus disuarakan sehingga sejarah Ikrar Lamteh tak kembali terulang” sebut Muntasir.

Menurut dia, jika Pemerintah Pusat terus berkomitmen merealisasikan seluruh turunan UUPA No. 11/2006 agar tercapai cita-cita rakyat, hidup mulia, sejahtera dan bermartabat maka dengan sendirinya akan tumbuh rasa cinta, kepedulian, persatuan dan kesatuan serta semangat kebersamaan dalam membangun bangsa.

Muntasir yang juga Penasehat Forum Mahasiswa Aceh Dunia (Formad 2020-2022) itu mengingatkan perdamaian adalah nikmat Allah SWT terbesar yang wajib disyukuri, sebuah perjuangan yang sangat melelahkan dan  menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari perjalanan panjang  sejarah masyarakat Aceh, selayaknya menjadi fondasi dalam menggapai kehidupan masyarakat Aceh yang sejahtera dan bermartabat.

“Kita patut berterima kasih kepada seluruh tokoh perdamaian Aceh baik dari dalam maupun luar negeri, Wali Nanggroe, Ketua Komite Peralihan Aceh dan seluruh jajaran dari pusat sampai ke pelosok desa, ulama, tokoh masyarakat, tokoh adat, tokoh pakat serta unsur-unsur terkait atas dedikasi dan pengorbanan yang sangat luar biasa dalam mengawal secara intensif keberlangsungan jalannya Damai Aceh selama 18 tahun” tutup Muntasir. [R25]