Tiga Bulan Kawanan Gajah Liar Wara-Wiri di Paya Bakong, Belum Ada Tindakan Serius Dari Pemkab Aceh Utara.
![Tiga Bulan Kawanan Gajah Liar Wara-Wiri di Paya Bakong, Belum Ada Tindakan Serius Dari Pemkab Aceh Utara.](https://marjinal.id/uploads/images/image_750x_64e466c304b0c.jpg)
ACEH UTARA – Sejak tiga bulan terakhir para petani Gampong Blang Pante, Kecamatan Paya Bakong, Aceh Utara resah dengan kehadiran gajah liar di kawasan perkebunan mereka. Gajah liar tersebut tidak hanya merusak kebun namun juga sudah mulai mengancam nyawa warga,.
“Kami sudah berusaha semaksimal mungkin mengusir gajah tersebut dan bahkan sudah memasang kawat kejut. Bahkan juga mengusir dengan menggunakan marcon, tapi gajah liar itu mengejar warga sehingga dia terpaksa bersembunyi diatas pohon selama 12 jam,” keluh Usman, Imum Mukim Blang Pante Paya Bakong, Selasa (22/8/23)
Usman mengatakan konflik gajah – manusia diwilayahnya sudah terjadi sejak tiga bulan terakhir, banyak tanaman di rusak, kerugian petani ditaksir mencapai puluhan juta rupiah.
“ Jika situasi terus berlanjut kami menganggap Gajah bukan lagi satwa yang dilindungi negara tetapi sebagai hama yang menghambat panen, karena masyarakat sudah panik dengan keberadaan kawanan gajah liar itu” ungkapnya.
Usman meminta kepada tim Conservation Response Unit (CRU) Aceh Utara untuk dapat mendampingi warga jika gajah masuk ke perkebunan warga. Namun, selama ini jagankan turun ke lapangan dihubungi pun tim CRU tidak pernah merespon.
Pemerintah Aceh Utara diminta untuk segera campur tangan mencari solusi sebelum jatuh korban dan tanaman yang dirusak semakin meluas.
Ia menilai pemerintah baik tingkat provinsi hingga kabupaten tidak peduli dengan nasib para petani yang kebunnya di obrak-abrik oleh satwa tersebut. Kecuali tim BKSDA (Badan Konservasi Sumber Daya Alam) yang selalu mendampingi petani untuk menghalau gajah itu masuk ke perkebunan warga.
“Jika dilihat kondisi ini, para petani menilai pemerintah kurang peduli dalam hal penanganan konplik satwa dengan manusia juga terkesan tutup mata,”ujarnya.
BKSDA Aceh, Nurdin mengatakan konflik satwa liar dengan petani disini sudah hampir terjadi lima tahun lebih dan setiap tahun eskalasinya terus meningkat. Salah satu penyebabnya pembukaan lahan perkebunan baik skala kecil maupun besar, diperkirakan juga aktifitas pembukaan jalur menuju ke lokasi Makam Cut Meutia salah satu penyebab lainnya.
Menurut titik GPS yang dipasang pada 2016 dan dibuka kembali pada 2019, lokasi kawanan Gajah liar berada saat ini adalah tempat persinggahan terakhir kawanan gajah.
“Ini merupakan jalur terakhir di Alue Kajeung yang merupakan jelajah kawanan gajah liar itu dimulai dari Langkahan,” sebutnya.
Nurdin menjelaskan, selama ini kawanan gajah itu menetap namun karena ada banyak aktifitas pembukaan jalan menuju ke lokasi Makam Cut Meutia serta pembukaan perkebunan baru maka kawanan gajah liar menjadikan Desa Blang Pante tempat persingahan terakhir.
BKSDA sudah membentuk tim di kawasan itu dan sudah bekerja maksmial, namun belum menemukan hasil. Menurut Nurdin sejauh ini belum ada SK (surat keputusan) yang dikeluarkan oleh pihak Pemkab Aceh Utara secara resmi terkait hal ini.
Selama ini BKSDA membantu masyarakat untuk menghalau gajah liar itu dengan memberi bantuan marcon.
“Jadi kami pun meminta kepada semua pihak untuk mensuport kedepan untuk menyelamatkan masyarakat Blang Pante. Jika jumlah gajah liar dari Langkahan hingga Alue Kajeung, Desa Blang Pante ada sekitar 70 ekor,”ujarnya.
Camat Paya Bakong, Syahrul Nisam mengharapkan perhatian Propinsi untuk menangani masalah ini, sarannya dibangun tempat penangkaran gajah dikawaan tersebut
“Gajah liar tak takut lagi dihalau dengan mercon, saya berharap bisa dijinakan atau dibangun tempat penangkaran” harapnya. [R25]